Siang itu cuaca cukup terik menyinari bumi,
Dalam ruangan kelas yang hening, hanya suara ibu guru yang terdengar
menerangkan pelajaran pada siswa/siswinya. Dalam benak Enggi berkecamuk, tak
habis pikir, sepanjang hari semenjak semester pertama hingga semester terakhir ini, Enggi hanya bisa
melamun keindahan bersama seorang wanita yang sudah cukup lama jadi idaman
hatinya. Dalam khayalannya yang ada hanyalah keindahan bersama Monara. Tanpa bisa
berbuat sesuatu untuk dapat mengungkapkan rasa cinta yang lama terpendam dalam
hati yang terdalam.
Pelajaran pertama
sudah berakhir, bel sekolah sebagai pertanda waktu istirahat telah terdengar
lantang ditelinga, semua para murid terlihat saling berhamburan keluar kelas
menuju kantin untuk mengisi perut yang mulai terasa keroncongan. Begitu juga
halnya dengan gadis berparas cantik, Anggun dan elegan itu, tapi kali ini
Monara berlain arah dengan teman-temannya. Monara hanya membawah sebotol
minuman dan sepotong roti menuju ketaman belakang sekolahnya itu. Dari sudut taman terdengar sebuah suara
lembut sedikit terkesan gemetaran memanggil nama Monara. Suara Enggi agak
tersipu-sipu gugup menyapa gadis yang
memang terbilang cantik, Anggun, dan lembut, pantas saja banyak cowok yang
menaruh perhatian lebih pada Monara nan dijuluki sebagai ratu kembang
disekolahnya itu, namun tak ada yang berani mendekatinya, hanya Udo Deni yang
terbilang dekat dan akrab bersama Monara.
“Monara……’’
Rupanya cowok kalem itu sudah duluan berada
ditaman, terlihat santai sambil membolak balik buku cerpen karya Raffy
Nusantara yang berjudul “CINTA ANTARA PADANG –JAKARTA’’
“Ya. Oh… Enggi”
Jawabnya singkat.
“Sendirian,
biasanya selalu rame-rame sama temannya?” Lanjut Enggi lembut.
“Ya, teman-teman
pada kekantin, palingan isi perut. Yach, pada lapar semua kali”
“Boleh kah aku
temani…..”
“Boleh….tumben ya,
kita ketemu disini”
“Kebesaran Tuhan
yang telah mempertemukan kita ditaman ini” Jawab Enggi sembari tersenyum.
“Ah….itu semua
kebetulan saja… Oh ya, itu buku apa Enggi…?” Tanya Monara melihat sebuah buku
yang terselip dijari lentik Enggi.
“Oh, ini buku
Cerpen” Jawab Enggi singkat.
“Cerpen apa,
menarik enggak ceritanya?” Tanya Monara lagi.
“Ini cerpen Cinta
antara Padang-Jakarta” Sambutnya lagi.
“Wow, Cerpen
remaja, Romantis dong Enggi, gimana ceritanya…?” Tanya Monara penasaran.
“Menceritakan
sebuah kisah sepanjang perjuangan cinta yang sulit, memiliki banyak tantangan, rintangan, serta penuh
lika liku dan aral yang menghambat cinta sucinya” Terang Enggi.
“Ouh…keren dong,
emangnya karya siapa sih Enggi….?”
“Karya Raffy
Nusantara, aku suka lho Cerpen-cerpen dan puisiny”
“Boleh aku
pinjam…” Pinta Monara.
“Boleh….” Sambut
Enggi sambil mengulurkan buku cerpen itu ke Monara.
“Terimah Kasih
Enggi, Buku ini aku pinjam hingga selesai aku baca ya”
“Ya, Enggak
apa-apa, Oh… ya, tak lama lagi kita akan tamat, melepaskan masa-masa putih
abu-abu kita, Monara lanjut kuliah kemana, mungkin setelah perpisahan nanti,
kita akan bakal jarang bertemu…..?” Tanya Enggi sambil menatap kearah Monara.
“Hmmm….Kuliah….Belum
tentu, belum ada rencana untuk arah kesitu, kita akan selalu bertemu Enggi,
kita kan satu kampung, walau tempat kita sedikit berjauhan. Tapi kebesaran
Tuhan akan selalu untuk mempertemukan kita” Ujar Monara sembari tersenyum manis
membalikan kata-kata yang tadi diucapkan Enggi padanya.
“Sesekali duduk
sama Monara, enggak ada yang marah kan….?”
“Ah, enggak.
Siapa juga yang marah”
“Kali aja cowoknya
yang marah”
“Waduhhh….aku
jadi malu de…”
“Emang kenapa,
apakah ada yang salah dengan pengucapan ku’’ Tanya Enggi sopan.
“Tidak”
“Terus kenapa
mesti malu?” Tanya Enggi lagi.
“Aku masih
sendiri, mana ada cowok yang mau dengan ku” Jawab Monara tertunduk.
“Benarkah….”
“Ya”
“Huuufff….Sialan”
“Kenapa, kok
sialan?”
“Betapa tidak,
selama ini aku kira kamu sudah punya pacar, masak sih seorang ratu disekolah
ini tak ada yang mau sama Monara”
‘’Buktinya hingga
saat ini aku masih menyandang status kesendirian ku”
“Hari-hari mu aku
lihat, selain bersama teman-teman mu, kamu sering juga bersama Udo Deni” Tanya
Enggi penasaran terhadap hubungan Monara yang terlihat begitu akrab bersama Udo
Deni.
“Kami memang
sering bersama, tapi itu semua tak lebih dari sekedar teman, lagi pula aku dan
Udo Deni satu suku, maka aku panggil dia dengan sebutan Udo, akhirnya
teman-teman juga ikutan panggil Deni dengan Udo juga ” Jawab Monara
menjelaskan. Memanglah Monara satu suku dengan Udo Deni, dikampungnya memang
dilarang keras berpacaran satu suku, karena terikat dengan segala aturan Adat
istiadat serta Norma-norma yang masih terbilang cukup kental dikampungnya.
“Kirain saja kamu
pacaran sama udo Deni, pasalnya akrab banget, Maafkan aku Monara yang telah
berprasangka pada mu”
“Hmmm….Biasa
sajalah Enggi, wajar dong beranggapan seperti itu, sebab kamu belum tau yang
sebenarnya. Kami memang sering bersama, itu hanya Belajar, juga diskusi bareng
dan kelompok” Jawabnyanya tersenyum.
“Bolehkah aku
juga ikut bergabung bersama kalian?” Tanya Enggi.
“Boleh, Dengan
senang hati, kami sambut kedatangan mu untuk ikut bergabung bersama kita-kita”
Jawab Monara tersenyum.
Bel sekolah kembali terdengar, pertanda waktu istirahat sudah
berakhir, mengingatkan bahwa siswa kembali masuk ke kelas masing-masing. Dengan
berat hati Enggi dan Monara terpaksa meninggalkan taman sebagai tempat awal
mereka berdua bercengkramah.
“Monara….”
“Ya”
“Entar pulang
sekolah, ada kegiatan gak?”
“Enggak”
“Bagai mana nanti
kalo kita pulang bareng?”
“Emmm….Boleh”
Menepati janji
sesuai kesepakatan saat ditaman. Enggi dan Monara berlalu pergi meninggalkan
sekolahnya. Motor Metic warna Maron 120 cc yang diboncengi Monara melaju pelan
menyisir disepanjang jalan yang cukup indah dengan pemandangan alam dari
perkebunan Karet serta Sawah-sawah yang terbentang luas, sesayup mata
memandang.
“Monara….”
Panggil Enggi.
“Ya” Jawab Monara
singkat.
“Entah malaikat
apa yang mengarahkan kita untuk pulang bersama kali ini”
“Hmmm….Entahlah,
yang pasti hari ini terasa sejuk dan damai melihat dari keindahan alam yang ada
di desa kita ini”
“Yach, lihatlah
Padi-padi yang terhampar hijau, bermekaran bak bunga-bunga nan tumbuh subur,
indah, segar dan harum baunya. Itulah kecantikan yang ada pada diri mu” Ucap
Enggi lembut.
“Eh…. Pinter
ngegombal ya, Puitis juga. Jangan kebanyakan memujinya, nanti kepala ku jadi
besar dan jangan buat aku terbang dong ya…” Balas Monara tersipu, kata-kata
yang diucapkan Enggi dengan lemah lembut menjatuhkan mental Monara yang belum
pernah seorang cowokpun berkata seromantis ini padanya.
“Aku bicara
sebenarnya, sudah sejak lama aku memperhatikan mu, ingin menjadikan mu seorang
terspesial dihati ku, tapi aku tak seberuntung dengan yang ada di angan-angan
ku untuk mendapatkan cinta mu”
Kali ini Enggi memang tak seperti biasanya
yang hanya banyak diam dan terkadang hanya ngobrol-ngobrol biasa tentang
berbagai macam mata pelajaran saja. Tapi kali ini, entah Roh apa yang telah
merasuki Enggi, hingga ia seberani itu mengungkapkan segala isi hati dan
unek-unek yang telah cukup lama terpendam dibenaknya.
“Sungguhkah
itu…?” Sahut Monara sambil menghempaskan nafasnya, Monara terperangah dan
terpesona dengan ucapan Enggi
disampaikan dengan nada yang lemah lembut.
“Yach, aku bicara
sesungguhnya, berharap mimpi indah ku terwujud untuk bisa bersama mu hingga
ajal datang menjemput”.
“Apakah tidak ada
yang cemburu…..?” Tanya Monara singkat.
“Sungguh malang
nasib ini, sudah sejak lama aku mendambakan mu, masih saja di curigai” Balas
Enggi kalem.
“Maaf Enggi,
bukan mencurigai mu, tapi aku takut, selama ini aku tak pernah tahu apa artinya
cinta dan belum pernah aku merasakannya. Kali ini, entah bisikan apa yang telah
merasuki mu, hingga kau ucapkan kata seindah itu pada ku” Jawab Monara sambil
menghela nafas panjang.
“Begitu juga
halnya dengan ku Monara, tapi aku akan membahagiakan gadis istimewah seperti
mu”
"Kau bicara sesungguhan Enggi...?"
"Ya, dari dasar hati ku yang paling dalam, aku tak tak mau
kehilangan mu" Jawab Enggi kalem.
"Jika benar sudah cukup lama kau mendambakan ku, kenapa kau selama ini tak
bergeming, diam tak berani datang menemui ku ataupun kerumah ku,
Kenapa....?" Tanya balik Monara lagi.
"Aku sadar, itu adalah kesalahan ku yang tak pernah datang pada mu,
terkadang timbul rasa panik, hati berontak, jiwapun tersiksa, ingin menemui mu,
tapi entah kenapa, tiba-tiba saja segala persendian ku terasa lunglai, lemas
tak berdaya, sungguh aku tak bernyali, namun aku selalu menanti saat indah
seperti ini bersama mu, tanpa ada yang lain"
"Enggi...coba kau fikir dulu lebih jauh lagi, aku begini adanya, aku hanya
gadis miskin yang tak punya apa-apa, bahkan serba kekurangan. Tak ada yang dapat diharapkan dari
ku" Ujar Monara tertunduk.
"Aku mencintai mu bukan karena kekayaan, bukan pula karena harta
benda, dan ini bukanlah sebuah kegentingan yang memaksa, tapi ini masalah hati,
soal perasaan Monara" Sahut Enggi sendu.
"Kau
janji takan menyakiti perasaan ku...?” Ujar Monara lagi, mencoba meyakinkan
hatinya.
"Aku rasa
tak perlu lagi kau tanyakan itu, masih kurang kah penjelasan ku bagi mu?"
Tambah Enggi lagi terus meyakinkan Monara terhadap cinta sucinya.
"Aku takut kehilangan setelah aku dapat kan, aku cemas tentang
itu"
"Monara.... Aku bagaikan Leonardo de Caprio mengejar pujaan hatinya diatas
megahnya Titanic. Kau lah pujaan hati ku, cinta ku, setelah aku dapatkan takan
semudah itu bagi ku untuk melepasnya"
"Jangan kau sakiti hati ku Enggi" Pinta Monara.
"Tentu saja tidak. Aku susah payah
untuk memasuki hati mu dalam rentang waktu yang panjang, setelah dekat takan
mungkin ku tinggalkan begitu saja" Ucap Enggi lembut berusaha meyakinkan Monara,
binar mata saling bertemu, memancarkan cahaya cinta pertama, mereka seperti
saling menemukan apa yang selama ini dicarinya. Serasa mimpi-mimpinya selama
ini sudah terlunasi. Pelukan hangat Enggi pun menggetarkan hati Monara yang di
kelilingi dengan keindahan alam yang sungguh menakjubkan, membuat mata tak puas
memandang, seakan-akan dunia milik mereka tanpa menghiraukan insan lain di
dunia ini. Sore kian menepis, senja berlabuh, malampun tiba, Bayang-bayang
indah saat bersama terus menyoroti hati yang sedang dirundung kebahagiaan,
terkadang senyam-senyum tersendiri, Sesekali Monara hanya menarik nafas
panjang, begitu juga Enggi, tak pernah terlelap sepicingpun hingga pagi
menjelang.
Kini hari-hari
Enggi dan Monara semakin lengket bak prangko, seperti cinta Romi dan Juliet,
sulit untuk di pisahkan. Namun tak terasa seiring waktu berlalu, pagi itu pekik
suara kegirangan membahana disetiap sudut sekolah menengah umum itu. Peluk dan
gelak tawa yang akrab ada disetiap siswa berlalu meriah. Memang hari itu hari
kelulusan Enggi dan Monara, hari terakhir putih abu-abu. Dalam pelukan
mesrahnya, dua sejoli itu berucap janji sepakat tidak melanjutkan pendidikannya
kejenjang perguruan tinggi.
Selepas dari putih abu-abu, hari-hari Enggi disibukan
dengan pekerjaan sebagai petani karet, sementara Monara samalah seperti Enggi
juga disibukan membantu pekerjaan orang tuanya sebagai petani karet. Memanglah
dikampung mereka ini, mayoritas masyarakatnya petani karet.
Setahun sudah telah terlewati, apa
yang di cemaskan Monara, akhirnya terjadi juga.
Sungguh dia merasa terpukul, karena ia harus
merelakan hubungan asmara cinta pertamanya yang langgeng dan tak lekang oleh
waktu itu serasa kandas di tengah jalan. Enggi berniat memutuskan ingin mencoba
mengadu nasib diperantauan. Akan pergi meninggalkan Monara,
Pagi itu, Cuaca mendung, semendung hatinya yang
sedang dirundung kegalauan, Sulit ia ceritakan bagai mana perasaannya. Segala
persendian terasa rapuh, merajut hari-hari bagaikan kelam buntu.
Kebisuan hati kini mulai menyelimutinya.
"Sudah bulatkah keputusan mu Enggi....?" Kata Monara memecahkan
kebisuan diantara mereka yang cukup lama terdiam.
"Yach..." Jawabnya singkat.
"Apakah tidak ada jalan lain...?" Kata Monara lagi.
"Ada..." Jawab Enggi singkat.
"Lalu kenapa harus pergi..."
"Aku pergi hanya untuk sementara, ingin mencoba mengadu nasib diperantauan,
semoga ini jalan terbaik bagi kita" Jawab Enggi sambil menatap Monara
lekat-lekat. Monara pun tak kuasa membalas tatapan itu.
"Kapan kamu berangkat...?"
"Besok" jawabnya
"Secepat itu...?" Pekik Monara lagi.
"Yach,,, Selamat tinggal Monara, jaga hati mu baik-baik, ingat janji
yang dulu pernah kita sepakati berdua, Satu hati dan tak saling mengkhinati
cinta suci kita, aku akan selalu merindukan mu, takan pernah melupakan mu. “I LOVE YOU” Monara”. Ucap Enggi sembab terseduh
sambil mengecup kening Monara.
"Selamat Jalan Enggi, semoga kau baik-baik saja dirantau orang, aku takan
pernah melupakan mu, cinta ku hanya milik mu, jaga hati mu disana, ku berharap
kau tak mengkhianati kesetiaan cinta kita. Selamat jalan Enggi” Ujar Monara
sendu. Tetesan bening air mata tak terasa membasahi pipi Monara.
Entah sampai kapan harus bertemu
lagi. Sebenarnya jauh di lubuk hati nya, namun apa daya, ini semua adalah
kehendak Enggi yang memutuskan ingin mencoba hidup di perantauan. hingga membuat
cinta pertama mereka terpisah jauh. Monara merasakan sesuatu yang hilang.....Yach.....merasa
kehilangan Jantung hati nya.
"Aku selalu merindukan mu Enggi, aku takan pernah bisa melupakan mu. Aku
akan tetap setia menanti mu kembali, Salam hangat buat mu selalu...."
SELAMAT JALAN..... ENGGI.....” Gumam Monara, isak
tangis dua sejoli itu terpecah sulit terbendungi. Entah sampai kapan harus
bertemu lagi.
Semenjak perpisahan itu terjadi, sepasang
dua sejoli itu hanya dapat menggunakan handphonenya yang masih poliponik
sebagai sarana komunikasi jarak jauh untuk telefon ataupun mengirim pesan
singkat antara mereka berdua.
Cukup lama sudah Enggi
mengadu nasib diperantauan, namun sejauh ini, komunikasih sepasang sejoli itu
tak pernah putus, saling mengabari berbagi cerita cinta antara mereka berdua.
Sesekali mereka bercerita tentang kisah kasih yang ada tertulis dibuku-buku
cerpen karya Raffy Nusantara.
Diujung senja itu langit menjadi
gelap, mendungpun kian menebal. Tetesan rintik-rintik tamaram hujan mulai turun
membasahi bumi, rasa dingin nan vganjil mulai terasa menusuk kepori-pori.
Alunan nada suara yang berasal dari sebuah Notifikasi pesan singkat
terdengar dihandphon Enggi yang terletak
diatas meja kecil kamar kontrakannya itu. Sekilas saja pesan singkat ia lihat,
Enggi tersenyum simpul melihat ada
tertera nama Monara yang ia sayangi muncul diKotak masuk Handphonnya. Saat
pesan singkat itu dibuka, Enggi terperangah tanpa disadari, tak terasa tetesan
bening air mata Enggi membasahi pipi. Seluruh organ tubuhnya Gemetaran, segala
persendian rapuh, lunglai lemas tak berdaya. Serasa dihantam petir disiang
hari. Jiwanya berontak, Hatinya pedih tercabik-cabik bak tersayat sembilu. Betapa tidak, Pesan
singkat yang dikirim Monara kali ini tidak seperti pesan singkat yang biasa
datang mengucapkan segala kerinduan. Namun dalam pesan singkat itu Monara minta
maaf, bahwa dirinya di Asungkan oleh orang tua dan sanak saudaranya dengan
laki-laki lain, dalam waktu yang singkat Monara akan di Nikahkan dengan Rahul.
“Maafkan aku Enggi, Hubungan diantara
kita bisa saja Berobah atau Berakhir
Tapi
tidak untuk mengakhiri Cinta dan hidup kita. Yang telah lama sudah kita
Habisih
berdua. Kita tak akan mati dengan seribu luka. Tapi kita berdua akan
Tetap
hidup dengan seribu Jahitan. Ini bukanlah tentang kegagalan hubungan
Cinta kita berdua, tapi
ini hanyalah ketidak berdayaan ku untuk melawan
Kehendak
orang tua ku. Demi kebahagiaan orang tua dan keluarga.
Terpaksa ku terimah dengan Lara, tertekan
sungguh tidak menyenangkan
Menjadi pengalah tentu bukan hal yang mudah. Kau tau, bahwa sering juga
sudah kita bicarakan.
Menerima permintaan orang tua ku. Bahwa aku di Asungkan dengan laki-laki
lain,
dan dalam waktu yang dekat ini aku juga akan Dinikahkan dengan lelaki
yang bernama Rahul
yang tak pernah aku kenal
sebelumnya dan tak pernah ada di Hati ku
Maafkan aku Enggi…..!!!”
Mulai
saat itu, Monara tak lagi dapat
dihubungi, segala kontak yang ada di Handphonnya tertutup dinon aktifkan untuk
semua layanan, hingga tiada lagi akses untuk menghubungi Monara dan sejak itu
pula hubungan cinta sepasang sejoli itu kandas, senyap hilang bak ditelan bumi.
Kini hari-hari yang dilalui Enggi mencekam sepanjang masa. Sulit ia ceritakan
bagai mana perasaanya. Saat seseorang terluka karna cinta, luka itu tak bisa
dilihat, bila berpisah dari milik sendiri luka itu takan pernah hilang, Enggi
merasa tak memiliki siapapu lagi di dunia ini. Dengan perasaan hancur, hati
lara, gunda gulana, dirangkul oleh luka, dikuatkan oleh rasa, tertawa hanya
pelengkap pura-pura.
Tak mampu menahan segala kegalauan itu, akhirnya Enggi
memutuskan untuk meninggalkan tanah rantaunya, pulang kekampung halaman, kini
menurut kabar berita dari seorang teman dekatnya Randi, menyebutkan bahwa
dikampungnya telah mulai memasuki musim Durian, Pasar malam, dan juga ada
Pameran Expo. Malam pertama sejak tibanya Enggi dikampung, Waktu beranjak
menuju kearah pukul 20:05:27 wib. Malam ini memang cukup cerah, kelap-kelip
bintang dilangit jingga sungguh mempesona, Awan-awan hitampun enggan menutupi
rembulan yang tersenyum lebar memancarkan sinarnya menerangi bumi, sunggu indah
mala mini dan sangat memanjakan pandangan mata. Enggi berdua Randi melayap
kepasar malam mengikuti jejak demi jejak keramaian umat manusia dipasar malam
yang terletak tidak seberapa jauh dari tempat mereka tinggal.
Dengan langkah seperti terayun gontai, Enggi melihat sesosok
Monara bergandengan tangan bersama suaminya Rahul, berlalu lalang ditengah
keramaian umat manusia memadati pasar malam. Sejenak Enggi dan Randi istirahat
melepas lelah setelah capek mutar-mutar menikmati keramaian. Tak sengaja, dari
kejauhan pula Monara melihat sesosok Enggi duduk terpaku sambil memainkan
sehelai rumput kering yang ada dijemari tangannya. Monara terfanah, sambil
ngedap ngedipkan kelopak matanya, tanpa ia duga sama sekali, tak terbayangkan sebelumnya
jikalau Enggi pulang kampung dan berada dipasar malam itu. Serasa bermimpi
disiang hari, tak percaya, tapi itulah kenyataanya. Dengan langkah
terbatah-batah pelan, Monara menuju kearah Enggi. Ternyata benar itu adalah
Enggi. Semulanya Enggi dengan kepala tertunduk, perlahan ia angkat sembari
memandang lekat-lekat sambil melempar senyum kecewanya pada gadis yang ia
cintai, Monarapun tak kuasa membalas tatapan Enggi padanya, hanya tertunduk
senyum sebagai tanda balasan senyum dari Enggi padanya serta berlalu pergi
meninggalkan Enggi.
Malam semakin larut, selarut hati Enggi yang dirundung
kepedihan, selalu terlintas di benaknya baying-bayang Monara bergandengan
tangan bersama Rahul saat bertemu dipasar malam. Menjadikan hatinya bertambah
hancur luluh. Matapun enggan terlelapkan, khayalannya terus menerawang tak
tentu arah, menjadikan hidupnya kian kelam, pahit dan tak bervariasi lagi.
Hanya mampu menatap kearah langit-langit loteng kamarnya sepanjang malam hingga
pagi menjelang.
Sepanjang hari, Enggi bersama Randi sering mutar-mutar
keliling kampung hingga ketempat-tempat perkebunan Durian, biasanya bila musim
durian tiba, Masyarakat maupun Para remaja dikampungnya selalu memanfaatkan
perkebunan durian yang dijadikan sebagai tempat tongkrongan menanti buah durian
jatuh dari pohonnya. Namun sejauh ini Monara juga tak pernah terlihat. Dihati,
Enggipun terus tertanya-tanya tentang keberadaan Monara yang tak pernah muncul
dari persembunyian rumahnya. Biasanya bila musim durian tiba, malahan Monara
yang terbilang sering menikmati musim itu, duduk nongkrong sambil baca buku
cerpen ataupun komik bersama teman-temannya.
Dari hari kehari Enggi yang terus melamun, tersiksa sepanjang
masa semenjak ditinggal kawin oleh Monara, sebagai orang tua, melihat anaknya
yang terus-terusan galau sedemikian, tentu pula merasa risau, akhirnya timbul
lah sebuah niat mengenengahkan agar Enggi mau di Asungkan dengan anak pamannya
Ranti. Tanpa pikir panjang, Enggipun tak menolak dengan perjodohannya itu. Gayung
bersambut Dalam waktu yang singkat pernikahan Enggi dan Ranti di berlangsungkan.
Tak terasa lamanya waktu berlalu, namun dipelupuk mata Enggi bayang-bayang Monara
selalu datang menghantui, walaupun ia sudah ada Ranti sebagai pendamping
hidupnya.
Sore menjelang, sebagai tempat piknik Enggi bersama Randi
sepakat ikutan mangkal keperkebunan durian, dimana Muda-mudi kawula muda senang
memanfaatkan perkebunan durian sebagai tempat tonkrongan, terlebih para kaum
remaja yang tengah asyik pacaran, sangat menikmati dikala musim durian seperti
ini. Selang waktu tak begitu lama, baru saja Enggi mendaratkan pantatnya
ditempat tonkrongan itu, tiba-tiba saja Monara muncul bersama Vivi temannya dari arah belakang
tempat tonkrongan Enggi dan Randi.
Sesaat saja, betapa terkejutnya Monara melihat yang sedang
duduk nongkrong itu adalah Enggi, mukanya tampak Pucat pasih tak berdarah, tubuhnya
bergetar, jiwanya bergocang, jantungnyapun berdegup kencang. Enggipun ikut terperangah,
tersentak dengan kedatangan Monara yang masih terlihat begitu elegan, anggun
dan cantik masih terpancar dari wajahnya, Kedua belah mata mereka saling
perpandangan, beradu tak berkedip. Masa-masa kelam yang Enggi rasakan sejak
kehilangan Monara, hilang seketika. Tatapan mereka sepertinya tak ada yang
dapat disembunyikan lagi. Dalam hati dan perasaan berkecamuk, rasa takut, rasa
gugup, bercampur aduk tak menentu.
Tubuh gemetar yang
diiringi dengan perasaan gugup, suara tersendat-sendat, Enggi mencoba
memberanikan diri menyapa untuk memecah tatapan lekat itu.
“Monara…..” Sapa Enggi
dengan suara gugup terbata-bata.
“Ya….” Jawab Monara
terkesan sedikit acuh.
“Apa kabar mu
sekarang……???”
“Baik, dan
kamu……????” Tanya balik Monara
“Aku masih seperti yang
dulu” Sahut Enggi tersenyum simpul. Monara tertunduk diam mendengar ucapan
Enggi barusan, Bening air matanya satu persatu menetes membasahi pipinya.
“Gak nyangka ya, kita
bias bertemu disini….” Sahut Monara sambil mengusap air mata yang menetes
perlahan dipipinya.
“Kebesaran
Tuhan yang telah mempertemukan kita kembali” Sambut Enggi mengulang ucapannya
saat pertama kali bertemu Monara. Tak ayal, kata-kata Enggi memang selalu
mencuri perhatian hati Monara. Terbersit dibenak Monara, bahwa ucapan itu
benar-benar sebuah ucapan kenangan yang selalu Ia ingat saat pertama kali
bertemu Enggi ditaman belakang sekolahnya dulu. Monara serasa tak kuasa
membalas ucapan Enggi tersebut. Entah dengan ucapan apa lagi yang mesti ia
jawab. Apakah harus ku jawab lagi dengan kata-kata yang pernah aku ucap? Oh…tak
mungkin. Bisik Monara dalam hati. Enggi pun paham apa yang dipikirkan Monara,
sehingga ia beralih topic kepembicaraan yang lain, karena Enggi tak mau membuat
Monara bertambah tertekan.
“Oh
ya….Monara, sering kali aku telfon dan kirimi pesan singkat pada mu, tetap tak
bisa, segala akses pada mu tertutup, semua Lost Contact. Ada apakah semua ini,
bukankah dulu kita sudah pernah berjanji, apapun yang terjadi diantara kita, kita
tetap teguh dan setia mempertahankan janji itu. Tapi kenapa tiba-tiba saja kau
berobah begitu saja. Ada apakah dengan kontak telfon mu Monara…..??” Tanya
Enggi sedikit terbawah emosional.
“Ya,
Enggi. Aku sadar selama ini kita telah Lost Contact, kontak ku sudah lama
diganti, tapi aku tak pernah lupa dengan jaji-janji kita” Jawabnya singkat.
“Kenapa
musti diganti Monara? Apakah tidak boleh lagi aku menghubungi mu?” Lanjut Tanya
Enggi.
“Bukan
begitu Enggi….” Jawabnya sedikit tersedu.
“Ataukah
karena kau telah bersuami…..?” Desak Enggi lagi.
“Bukan
Enggi”
“Lantas
kenapa….Monara?”
“Ceritanya
panjang Enggi” Jawab Monara terus mengelak.
“Apakah
kau tau bahwa begitu tersiksanya diri ku hingga saat ini karena cinta kita….?”
“Aku
mengerti, tanpa kau sadari, aku juga demikian, Bukan kau saja yang memiliki
perasaan, aku juga punya Enggi” Bentak Monara sedu sedan menahan kepedihan yang ia rasakan,
atas pertengkaran itu.
“Oke,
tapi bolehkah aku minta kontak mu yang sekarang dan bolehkah aku bercengkrama
seperti dulu lagi bersama mu….?” Pinta Enggi sambil manggut-mangkut kepala.
“Boleh”
Jawab Monara seraya mengambil Handphon dalam kantong celananya, lalu di Missed
Call nya Handpon Enggi. Rupanya kontak Enggi masih tetap ia Save walau sudah
cukup lama mereka berdua Lost Contact.
“Inikah
kontak baru mu….?” Tanya Enggi.
“Ya,
itu kontak baru ku, walau telah sekian lama kita Lost Contact, namu Nomor
telfon mu masih tetap aku save dihati ku, ku harab kau paham dengan ini semua”
Terang Monara sambil membalikan badannya mohon pamit dari hadapan Enggi berlalu
pergi meninggalkan tempat tongkrongan itu.
Semenjak
pertemuan pertama Enggi dan Monara disore itu, hingga berlanjut pada Pesan
singkat serta sekali-kali telfon-telfonan mengatur janji pertemuan secara
kucing-kucingan. Sedari itu pula pintu hati mantan sepasang sejoli itu kembali
terbuka, hati berbunga-bunga seperti dahulu kala, selayaknya anak remaja yang
sedang dirundung kasmaran, merajut kembali hari-hari mereka berdua yang telah
cukup lama terhenti. Vakum dari dunia cintanya, membuat rasa rindu kembali
menggebu-gebu, sulit terbendungkan. Ikatan Cinta lama Enggi dan Monara kembali
bersemi, bersatu dalam bungkusan rahasia hati. Pertemuan cinta terlarang
sepasang kekasih yang bukan muhrim itu sering kali bersemi pada tempat-tempat
yang biasa mereka kunjungi dimasa-masa saat mereka masih duduk di bangku
sekolah dahulu.
“Monara….Kenapa
begitu berat cobaan yang diberikan Tuhan kepada cinta kita, dan kita mesti
sadari, bahwa semua yang kita lakukan ini adalahan sebuah kesalan besar, dan
sesungguhnya pertemuan ini adalah pertemuan sangat terlarang” Ujar Enggi lemah,
seakan-akan tak berdaya.
“Yach….aku
tau itu, aku sudah bersuami sedangkan kau telah beristri, ini adalah suatu
pengkhianatan besar terhadap kedua pasangan kita, sangat di murkah oleh Allah.
Tapi tak dapat dipungkiri, dan aku tak mau jadi orang yang munafik, bahwa aku
sangat mencintai mu, aku tak mau lepas dari hangatnya pelukan mu, Jangan kau
tingkalkan aku lagi Enggi….!!!” Pinta Monara memeluk erat tubuh Enggi.
“Yach….Terlebih
sekali aku Monara, sejak kehilangan mu dulu, hampir saja aku jadi gila, bayang-bayang
mu terus datang silih berganti dipelupuk mata ku, sulit ku ceritakan bagai mana
perasaan ku saat kau tinggalkan aku….Percayalah Monara, aku juga tak mau lagi
kehingan mu untuk yang kedua kalinya” Jawab Enggi sambil mengecup kening Monara
dengan penuh kelembutan kasih sayang.
Pertemuan cinta terlarang itu sering kali
dilakukan, hingga sepasang kekasih itu sulit untuk dipisahkan lagi. Cinta
mereka berdua memang sudah lengket bak Cintanya Romy and Juliet, Kuat dan teguh
bak Cintanya Leonardo De Caprio (Jack Dawson) dan Kate Elizabeth Winslet (Rose
Dewitt Bukater) dalam tayangan serial Film TITANIC yang dirilis pada tahun
1997. Hingga sepasang kekasih itu memutuskan sepakat memilih jalan berpisah
dengan pasangannya masing-masing agar bisa hidup bersama dan tak berpisah lagi
untuk selama-lamanya. Walau disisi lain ada yang akan tersakiti dan terluka,
namun dengan kekuatan cinta suci yang dapat melebihi dari kekuatan Tsunami,
maka tak jadi persoalan bagi mereka berdua memutuskan harus saling bercerai.
“Kau
janji akan berpisah bersama suami mu Rahul….!” Ujar Enggi sambil membelai
rambut panjang Monara.
“Yach….aku
janji, apakah kau juga berjanji cerai dengan Ranti….?” Tanya balik Monara
berusaha meyakinkan Enggi.
“Ya….secepatnya,
agar kita lekas hidup halal bersama dan tak lagi berpisah seperti yang telah
berlalu”
Pada akhirnya, Gugatan
perceraian antara Enggi dan Ranti, Monara dan Rahul terjadi secepat kilat.
Selepas dari itu, Persiapan pernikahan Enggi dan Monara diatur serapi mungkin,
usai pernikahan, mereka berjanji akan pergi meninggalkan kampung halamannya.
Memulai menjalani kehidupan baru mengadu nasib hidup bersama diperantauan.
Segala perbekalan untuk dijadikan sebagai senjata ampuh untuk hidup mengadu
nasib dirantau orang telah dipersiapkan sebelumnya. Kini dunia serasa milik
berdua, tak ada lagi yang dapat menghalangi ikatan cinta suci mereka. MERDEKA
itulah yang sering terucap dari mulut Enggi dan Monara sebagai Pemenang atas
segala cinta sucinya.
+TAMAT+