CINTA ASUNGAN

Cerpen

Senin, 19 Juli 2021

Cerpen Remaja : CINTA ASUNGAN


 

            Siang itu cuaca cukup terik menyinari bumi, Dalam ruangan kelas yang hening, hanya suara ibu guru yang terdengar menerangkan pelajaran pada siswa/siswinya. Dalam benak Enggi berkecamuk, tak habis pikir, sepanjang hari semenjak semester pertama  hingga semester terakhir ini, Enggi hanya bisa melamun keindahan bersama seorang wanita yang sudah cukup lama jadi idaman hatinya. Dalam khayalannya yang ada hanyalah keindahan bersama Monara. Tanpa bisa berbuat sesuatu untuk dapat mengungkapkan rasa cinta yang lama terpendam dalam hati yang terdalam.

            Pelajaran pertama sudah berakhir, bel sekolah sebagai pertanda waktu istirahat telah terdengar lantang ditelinga, semua para murid terlihat saling berhamburan keluar kelas menuju kantin untuk mengisi perut yang mulai terasa keroncongan. Begitu juga halnya dengan gadis berparas cantik, Anggun dan elegan itu, tapi kali ini Monara berlain arah dengan teman-temannya. Monara hanya membawah sebotol minuman dan sepotong roti menuju ketaman belakang sekolahnya itu.  Dari sudut taman terdengar sebuah suara lembut sedikit terkesan gemetaran memanggil nama Monara. Suara Enggi agak tersipu-sipu gugup  menyapa gadis yang memang terbilang cantik, Anggun, dan lembut, pantas saja banyak cowok yang menaruh perhatian lebih pada Monara nan dijuluki sebagai ratu kembang disekolahnya itu, namun tak ada yang berani mendekatinya, hanya Udo Deni yang terbilang dekat dan akrab bersama Monara.

             “Monara……’’

Rupanya cowok kalem itu sudah duluan berada ditaman, terlihat santai sambil membolak balik buku cerpen karya Raffy Nusantara yang berjudul “CINTA ANTARA PADANG –JAKARTA’’

            “Ya. Oh… Enggi” Jawabnya singkat.

            “Sendirian, biasanya selalu rame-rame sama temannya?” Lanjut Enggi lembut.

            “Ya, teman-teman pada kekantin, palingan isi perut. Yach, pada lapar semua kali”

            “Boleh kah aku temani…..”

            “Boleh….tumben ya, kita ketemu disini”

            “Kebesaran Tuhan yang telah mempertemukan kita ditaman ini” Jawab Enggi sembari tersenyum.

            “Ah….itu semua kebetulan saja… Oh ya, itu buku apa Enggi…?” Tanya Monara melihat sebuah buku yang terselip dijari lentik Enggi.

            “Oh, ini buku Cerpen” Jawab Enggi singkat.

            “Cerpen apa, menarik enggak ceritanya?” Tanya Monara lagi.

            “Ini cerpen Cinta antara Padang-Jakarta” Sambutnya lagi.

            “Wow, Cerpen remaja, Romantis dong Enggi, gimana ceritanya…?” Tanya Monara penasaran.

            “Menceritakan sebuah kisah sepanjang perjuangan cinta yang sulit,  memiliki banyak tantangan, rintangan, serta penuh lika liku dan aral yang menghambat cinta sucinya” Terang Enggi.

            “Ouh…keren dong, emangnya karya siapa sih Enggi….?”

            “Karya Raffy Nusantara, aku suka lho Cerpen-cerpen dan puisiny”

            “Boleh aku pinjam…” Pinta Monara.

            “Boleh….” Sambut Enggi sambil mengulurkan buku cerpen itu ke Monara.

            “Terimah Kasih Enggi, Buku ini aku pinjam hingga selesai aku baca ya”

            “Ya, Enggak apa-apa, Oh… ya, tak lama lagi kita akan tamat, melepaskan masa-masa putih abu-abu kita, Monara lanjut kuliah kemana, mungkin setelah perpisahan nanti, kita akan bakal jarang bertemu…..?” Tanya Enggi sambil menatap kearah Monara.

            “Hmmm….Kuliah….Belum tentu, belum ada rencana untuk arah kesitu, kita akan selalu bertemu Enggi, kita kan satu kampung, walau tempat kita sedikit berjauhan. Tapi kebesaran Tuhan akan selalu untuk mempertemukan kita” Ujar Monara sembari tersenyum manis membalikan kata-kata yang tadi diucapkan Enggi padanya.

            “Sesekali duduk sama Monara, enggak ada yang marah kan….?”

            “Ah, enggak. Siapa juga yang marah”

            “Kali aja cowoknya yang marah”

            “Waduhhh….aku jadi malu de…”

            “Emang kenapa, apakah ada yang salah dengan pengucapan ku’’ Tanya Enggi sopan.

            “Tidak”

            “Terus kenapa mesti malu?” Tanya Enggi lagi.

            “Aku masih sendiri, mana ada cowok yang mau dengan ku” Jawab Monara tertunduk.

            “Benarkah….”

            “Ya”

            “Huuufff….Sialan”

            “Kenapa, kok sialan?”

            “Betapa tidak, selama ini aku kira kamu sudah punya pacar, masak sih seorang ratu disekolah ini tak ada yang mau sama Monara”

            ‘’Buktinya hingga saat ini aku masih menyandang status kesendirian ku”

            “Hari-hari mu aku lihat, selain bersama teman-teman mu, kamu sering juga bersama Udo Deni” Tanya Enggi penasaran terhadap hubungan Monara yang terlihat begitu akrab bersama Udo Deni.

            “Kami memang sering bersama, tapi itu semua tak lebih dari sekedar teman, lagi pula aku dan Udo Deni satu suku, maka aku panggil dia dengan sebutan Udo, akhirnya teman-teman juga ikutan panggil Deni dengan Udo juga ” Jawab Monara menjelaskan. Memanglah Monara satu suku dengan Udo Deni, dikampungnya memang dilarang keras berpacaran satu suku, karena terikat dengan segala aturan Adat istiadat serta Norma-norma yang masih terbilang cukup kental dikampungnya.

            “Kirain saja kamu pacaran sama udo Deni, pasalnya akrab banget, Maafkan aku Monara yang telah berprasangka pada mu”

            “Hmmm….Biasa sajalah Enggi, wajar dong beranggapan seperti itu, sebab kamu belum tau yang sebenarnya. Kami memang sering bersama, itu hanya Belajar, juga diskusi bareng dan kelompok” Jawabnyanya tersenyum.

            “Bolehkah aku juga ikut bergabung bersama kalian?” Tanya Enggi.

            “Boleh, Dengan senang hati, kami sambut kedatangan mu untuk ikut bergabung bersama kita-kita” Jawab Monara tersenyum.

Bel sekolah kembali terdengar, pertanda waktu istirahat sudah berakhir, mengingatkan bahwa siswa kembali masuk ke kelas masing-masing. Dengan berat hati Enggi dan Monara terpaksa meninggalkan taman sebagai tempat awal mereka berdua bercengkramah.

            “Monara….”

            “Ya”

            “Entar pulang sekolah, ada kegiatan gak?”

            “Enggak”

            “Bagai mana nanti kalo kita pulang bareng?”

            “Emmm….Boleh”

            Menepati janji sesuai kesepakatan saat ditaman. Enggi dan Monara berlalu pergi meninggalkan sekolahnya. Motor Metic warna Maron 120 cc yang diboncengi Monara melaju pelan menyisir disepanjang jalan yang cukup indah dengan pemandangan alam dari perkebunan Karet serta Sawah-sawah yang terbentang luas, sesayup mata memandang.

            “Monara….” Panggil Enggi.

            “Ya” Jawab Monara singkat.

            “Entah malaikat apa yang mengarahkan kita untuk pulang bersama kali ini”

            “Hmmm….Entahlah, yang pasti hari ini terasa sejuk dan damai melihat dari keindahan alam yang ada di desa kita ini”

            “Yach, lihatlah Padi-padi yang terhampar hijau, bermekaran bak bunga-bunga nan tumbuh subur, indah, segar dan harum baunya. Itulah kecantikan yang ada pada diri mu” Ucap Enggi lembut.

            “Eh…. Pinter ngegombal ya, Puitis juga. Jangan kebanyakan memujinya, nanti kepala ku jadi besar dan jangan buat aku terbang dong ya…” Balas Monara tersipu, kata-kata yang diucapkan Enggi dengan lemah lembut menjatuhkan mental Monara yang belum pernah seorang cowokpun berkata seromantis ini padanya.

            “Aku bicara sebenarnya, sudah sejak lama aku memperhatikan mu, ingin menjadikan mu seorang terspesial dihati ku, tapi aku tak seberuntung dengan yang ada di angan-angan ku untuk mendapatkan cinta mu”

Kali ini Enggi memang tak seperti biasanya yang hanya banyak diam dan terkadang hanya ngobrol-ngobrol biasa tentang berbagai macam mata pelajaran saja. Tapi kali ini, entah Roh apa yang telah merasuki Enggi, hingga ia seberani itu mengungkapkan segala isi hati dan unek-unek yang telah cukup lama terpendam dibenaknya.

            “Sungguhkah itu…?” Sahut Monara sambil menghempaskan nafasnya, Monara terperangah dan terpesona dengan ucapan Enggi  disampaikan dengan nada yang lemah lembut.

            “Yach, aku bicara sesungguhnya, berharap mimpi indah ku terwujud untuk bisa bersama mu hingga ajal datang menjemput”.

            “Apakah tidak ada yang cemburu…..?” Tanya Monara singkat.

            “Sungguh malang nasib ini, sudah sejak lama aku mendambakan mu, masih saja di curigai” Balas Enggi kalem.

            “Maaf Enggi, bukan mencurigai mu, tapi aku takut, selama ini aku tak pernah tahu apa artinya cinta dan belum pernah aku merasakannya. Kali ini, entah bisikan apa yang telah merasuki mu, hingga kau ucapkan kata seindah itu pada ku” Jawab Monara sambil menghela nafas panjang.

            “Begitu juga halnya dengan ku Monara, tapi aku akan membahagiakan gadis istimewah seperti mu”

             "Kau bicara sesungguhan Enggi...?"
           "Ya, dari dasar hati ku yang paling dalam, aku tak tak mau kehilangan mu" Jawab Enggi kalem.
            "Jika benar sudah cukup lama kau mendambakan ku, kenapa kau selama ini tak bergeming, diam tak berani datang menemui ku ataupun kerumah ku, Kenapa....?" Tanya balik Monara lagi.
            "Aku sadar, itu adalah kesalahan ku yang tak pernah datang pada mu, terkadang timbul rasa panik, hati berontak, jiwapun tersiksa, ingin menemui mu, tapi entah kenapa, tiba-tiba saja segala persendian ku terasa lunglai, lemas tak berdaya, sungguh aku tak bernyali, namun aku selalu menanti saat indah seperti ini bersama mu, tanpa ada yang lain"
            "Enggi...coba kau fikir dulu lebih jauh lagi, aku begini adanya, aku hanya gadis miskin yang tak punya apa-
apa, bahkan serba kekurangan. Tak ada yang dapat diharapkan dari ku" Ujar Monara tertunduk.
           "Aku mencintai mu bukan karena kekayaan, bukan pula karena harta benda, dan ini bukanlah sebuah kegentingan yang memaksa, tapi ini masalah hati, soal perasaan Monara" Sahut Enggi sendu.
          "Kau janji takan menyakiti perasaan ku...?” Ujar Monara lagi, mencoba meyakinkan hatinya.
         "Aku rasa tak perlu lagi kau tanyakan itu, masih kurang kah penjelasan ku bagi mu?" Tambah Enggi lagi terus meyakinkan Monara terhadap cinta sucinya.
           "Aku takut kehilangan setelah aku dapat kan, aku cemas tentang itu"
            "Monara.... Aku bagaikan Leonardo de Caprio mengejar pujaan hatinya diatas megahnya Titanic. Kau lah pujaan hati ku, cinta ku, setelah aku dapatkan takan semudah itu bagi ku untuk melepasnya"
            "Jangan kau sakiti hati ku Enggi" Pinta Monara.
           "Tentu saja tidak. Aku susah payah untuk memasuki hati mu dalam rentang waktu yang panjang, setelah dekat takan mungkin ku tinggalkan begitu saja" Ucap Enggi lembut berusaha meyakinkan Monara, binar mata saling bertemu, memancarkan cahaya cinta pertama, mereka seperti saling menemukan apa yang selama ini dicarinya. Serasa mimpi-mimpinya selama ini sudah terlunasi. Pelukan hangat Enggi pun menggetarkan hati Monara yang di kelilingi dengan keindahan alam yang sungguh menakjubkan, membuat mata tak puas memandang, seakan-akan dunia milik mereka tanpa menghiraukan insan lain di dunia ini. Sore kian menepis, senja berlabuh, malampun tiba, Bayang-bayang indah saat bersama terus menyoroti hati yang sedang dirundung kebahagiaan, terkadang senyam-senyum tersendiri, Sesekali Monara hanya menarik nafas panjang, begitu juga Enggi, tak pernah terlelap sepicingpun hingga pagi menjelang.

 Kini hari-hari Enggi dan Monara semakin lengket bak prangko, seperti cinta Romi dan Juliet, sulit untuk di pisahkan. Namun tak terasa seiring waktu berlalu, pagi itu pekik suara kegirangan membahana disetiap sudut sekolah menengah umum itu. Peluk dan gelak tawa yang akrab ada disetiap siswa berlalu meriah. Memang hari itu hari kelulusan Enggi dan Monara, hari terakhir putih abu-abu. Dalam pelukan mesrahnya, dua sejoli itu berucap janji sepakat tidak melanjutkan pendidikannya kejenjang perguruan tinggi.

            Selepas  dari putih abu-abu, hari-hari Enggi disibukan dengan pekerjaan sebagai petani karet, sementara Monara samalah seperti Enggi juga disibukan membantu pekerjaan orang tuanya sebagai petani karet. Memanglah dikampung mereka ini, mayoritas masyarakatnya petani karet.

            Setahun sudah telah terlewati, apa yang di cemaskan Monara, akhirnya terjadi juga.
Sungguh dia merasa terpukul, karena ia harus merelakan hubungan asmara cinta pertamanya yang langgeng dan tak lekang oleh waktu itu serasa kandas di tengah jalan. Enggi berniat memutuskan ingin mencoba mengadu nasib diperantauan. Akan pergi meninggalkan Monara,
Pagi itu, Cuaca mendung, semendung hatinya yang sedang dirundung kegalauan, Sulit ia ceritakan bagai mana perasaannya. Segala persendian terasa rapuh, merajut hari-hari bagaikan kelam buntu.
Kebisuan hati kini mulai menyelimutinya.
           "Sudah bulatkah keputusan mu Enggi....?" Kata Monara memecahkan kebisuan diantara mereka yang cukup lama terdiam.
           "Yach..." Jawabnya singkat.
            "Apakah tidak ada jalan lain...?" Kata Monara lagi.
            "Ada..." Jawab Enggi singkat.
            "Lalu kenapa harus pergi..."
            "Aku pergi hanya untuk sementara, ingin mencoba mengadu nasib diperantauan, semoga ini jalan terbaik bagi kita" Jawab Enggi sambil menatap Monara lekat-lekat. Monara pun tak kuasa membalas tatapan itu.
               "Kapan kamu berangkat...?"
               "Besok" jawabnya
               "Secepat itu...?" Pekik Monara lagi.
               "Yach,,, Selamat tinggal Monara, jaga hati mu baik-baik, ingat janji yang dulu pernah kita sepakati berdua, Satu hati dan tak saling mengkhinati cinta suci kita, aku akan selalu merindukan mu, takan pernah melupakan mu. “I   LOVE YOU” Monara”. Ucap Enggi sembab terseduh sambil mengecup kening Monara.
            "Selamat Jalan Enggi, semoga kau baik-baik saja dirantau orang, aku takan pernah melupakan mu, cinta ku hanya milik mu, jaga hati mu disana, ku berharap kau tak mengkhianati kesetiaan cinta kita. Selamat jalan Enggi” Ujar Monara sendu. Tetesan bening air mata tak terasa membasahi pipi Monara.

            Entah sampai kapan harus bertemu lagi. Sebenarnya jauh di lubuk hati nya, namun apa daya, ini semua adalah kehendak Enggi yang memutuskan ingin mencoba hidup di perantauan. hingga membuat cinta pertama mereka terpisah jauh. Monara merasakan sesuatu yang hilang.....Yach.....merasa kehilangan Jantung hati nya.
            "Aku selalu merindukan mu Enggi, aku takan pernah bisa melupakan mu. Aku akan tetap setia menanti mu kembali, Salam hangat buat mu selalu...."
SELAMAT JALAN..... ENGGI.....” Gumam Monara, isak tangis dua sejoli itu terpecah sulit terbendungi. Entah sampai kapan harus bertemu lagi.

            Semenjak perpisahan itu terjadi, sepasang dua sejoli itu hanya dapat menggunakan handphonenya yang masih poliponik sebagai sarana komunikasi jarak jauh untuk telefon ataupun mengirim pesan singkat antara mereka berdua.

Cukup lama sudah Enggi mengadu nasib diperantauan, namun sejauh ini, komunikasih sepasang sejoli itu tak pernah putus, saling mengabari berbagi cerita cinta antara mereka berdua. Sesekali mereka bercerita tentang kisah kasih yang ada tertulis dibuku-buku cerpen karya Raffy Nusantara.

            Diujung senja itu langit menjadi gelap, mendungpun kian menebal. Tetesan  rintik-rintik tamaram hujan mulai turun membasahi bumi, rasa dingin nan vganjil mulai terasa menusuk kepori-pori. Alunan nada suara yang berasal dari sebuah Notifikasi pesan singkat terdengar  dihandphon Enggi yang terletak diatas meja kecil kamar kontrakannya itu. Sekilas saja pesan singkat ia lihat, Enggi tersenyum simpul melihat  ada tertera nama Monara yang ia sayangi muncul diKotak masuk Handphonnya. Saat pesan singkat itu dibuka, Enggi terperangah tanpa disadari, tak terasa tetesan bening air mata Enggi membasahi pipi. Seluruh organ tubuhnya Gemetaran, segala persendian rapuh, lunglai lemas tak berdaya. Serasa dihantam petir disiang hari. Jiwanya berontak, Hatinya pedih tercabik-cabik  bak tersayat sembilu. Betapa tidak, Pesan singkat yang dikirim Monara kali ini tidak seperti pesan singkat yang biasa datang mengucapkan segala kerinduan. Namun dalam pesan singkat itu Monara minta maaf, bahwa dirinya di Asungkan oleh orang tua dan sanak saudaranya dengan laki-laki lain, dalam waktu yang singkat Monara akan di Nikahkan dengan Rahul.

            “Maafkan aku Enggi, Hubungan diantara kita bisa saja Berobah atau Berakhir

      Tapi tidak untuk mengakhiri Cinta dan hidup kita. Yang telah lama sudah kita

      Habisih berdua. Kita tak akan mati dengan seribu luka. Tapi kita berdua akan

      Tetap hidup dengan seribu Jahitan. Ini bukanlah tentang kegagalan hubungan

                        Cinta kita berdua, tapi ini hanyalah ketidak berdayaan ku untuk melawan

                                                                                                    Kehendak orang tua ku. Demi kebahagiaan orang tua dan keluarga.

        Terpaksa ku terimah dengan Lara, tertekan sungguh tidak menyenangkan

               Menjadi pengalah tentu bukan hal yang mudah. Kau tau, bahwa sering juga sudah kita bicarakan. 

               Menerima permintaan orang tua ku. Bahwa aku di Asungkan dengan laki-laki lain,

               dan dalam waktu yang dekat ini aku juga akan Dinikahkan dengan lelaki yang bernama Rahul

              yang tak   pernah aku kenal sebelumnya dan tak pernah ada di Hati ku

Maafkan aku Enggi…..!!!”

           

Mulai saat itu, Monara tak lagi dapat dihubungi, segala kontak yang ada di Handphonnya tertutup dinon aktifkan untuk semua layanan, hingga tiada lagi akses untuk menghubungi Monara dan sejak itu pula hubungan cinta sepasang sejoli itu kandas, senyap hilang bak ditelan bumi. Kini hari-hari yang dilalui Enggi mencekam sepanjang masa. Sulit ia ceritakan bagai mana perasaanya. Saat seseorang terluka karna cinta, luka itu tak bisa dilihat, bila berpisah dari milik sendiri luka itu takan pernah hilang, Enggi merasa tak memiliki siapapu lagi di dunia ini. Dengan perasaan hancur, hati lara, gunda gulana, dirangkul oleh luka, dikuatkan oleh rasa, tertawa hanya pelengkap pura-pura.

Tak mampu menahan segala kegalauan itu, akhirnya Enggi memutuskan untuk meninggalkan tanah rantaunya, pulang kekampung halaman, kini menurut kabar berita dari seorang teman dekatnya Randi, menyebutkan bahwa dikampungnya telah mulai memasuki musim Durian, Pasar malam, dan juga ada Pameran Expo. Malam pertama sejak tibanya Enggi dikampung, Waktu beranjak menuju kearah pukul 20:05:27 wib. Malam ini memang cukup cerah, kelap-kelip bintang dilangit jingga sungguh mempesona, Awan-awan hitampun enggan menutupi rembulan yang tersenyum lebar memancarkan sinarnya menerangi bumi, sunggu indah mala mini dan sangat memanjakan pandangan mata. Enggi berdua Randi melayap kepasar malam mengikuti jejak demi jejak keramaian umat manusia dipasar malam yang terletak tidak seberapa jauh dari tempat mereka tinggal.

Dengan langkah seperti terayun gontai, Enggi melihat sesosok Monara bergandengan tangan bersama suaminya Rahul, berlalu lalang ditengah keramaian umat manusia memadati pasar malam. Sejenak Enggi dan Randi istirahat melepas lelah setelah capek mutar-mutar menikmati keramaian. Tak sengaja, dari kejauhan pula Monara melihat sesosok Enggi duduk terpaku sambil memainkan sehelai rumput kering yang ada dijemari tangannya. Monara terfanah, sambil ngedap ngedipkan kelopak matanya, tanpa ia duga sama sekali, tak terbayangkan sebelumnya jikalau Enggi pulang kampung dan berada dipasar malam itu. Serasa bermimpi disiang hari, tak percaya, tapi itulah kenyataanya. Dengan langkah terbatah-batah pelan, Monara menuju kearah Enggi. Ternyata benar itu adalah Enggi. Semulanya Enggi dengan kepala tertunduk, perlahan ia angkat sembari memandang lekat-lekat sambil melempar senyum kecewanya pada gadis yang ia cintai, Monarapun tak kuasa membalas tatapan Enggi padanya, hanya tertunduk senyum sebagai tanda balasan senyum dari Enggi padanya serta berlalu pergi meninggalkan Enggi.

Malam semakin larut, selarut hati Enggi yang dirundung kepedihan, selalu terlintas di benaknya baying-bayang Monara bergandengan tangan bersama Rahul saat bertemu dipasar malam. Menjadikan hatinya bertambah hancur luluh. Matapun enggan terlelapkan, khayalannya terus menerawang tak tentu arah, menjadikan hidupnya kian kelam, pahit dan tak bervariasi lagi. Hanya mampu menatap kearah langit-langit loteng kamarnya sepanjang malam hingga pagi menjelang.

Sepanjang hari, Enggi bersama Randi sering mutar-mutar keliling kampung hingga ketempat-tempat perkebunan Durian, biasanya bila musim durian tiba, Masyarakat maupun Para remaja dikampungnya selalu memanfaatkan perkebunan durian yang dijadikan sebagai tempat tongkrongan menanti buah durian jatuh dari pohonnya. Namun sejauh ini Monara juga tak pernah terlihat. Dihati, Enggipun terus tertanya-tanya tentang keberadaan Monara yang tak pernah muncul dari persembunyian rumahnya. Biasanya bila musim durian tiba, malahan Monara yang terbilang sering menikmati musim itu, duduk nongkrong sambil baca buku cerpen ataupun komik bersama teman-temannya.

Dari hari kehari Enggi yang terus melamun, tersiksa sepanjang masa semenjak ditinggal kawin oleh Monara, sebagai orang tua, melihat anaknya yang terus-terusan galau sedemikian, tentu pula merasa risau, akhirnya timbul lah sebuah niat mengenengahkan agar Enggi mau di Asungkan dengan anak pamannya Ranti. Tanpa pikir panjang, Enggipun tak menolak dengan perjodohannya itu. Gayung bersambut Dalam waktu yang singkat pernikahan Enggi dan Ranti di berlangsungkan. Tak terasa lamanya waktu berlalu, namun dipelupuk mata Enggi bayang-bayang Monara selalu datang menghantui, walaupun ia sudah ada Ranti sebagai pendamping hidupnya.

Sore menjelang, sebagai tempat piknik Enggi bersama Randi sepakat ikutan mangkal keperkebunan durian, dimana Muda-mudi kawula muda senang memanfaatkan perkebunan durian sebagai tempat tonkrongan, terlebih para kaum remaja yang tengah asyik pacaran, sangat menikmati dikala musim durian seperti ini. Selang waktu tak begitu lama, baru saja Enggi mendaratkan pantatnya ditempat tonkrongan itu, tiba-tiba saja Monara muncul  bersama Vivi temannya dari arah belakang tempat tonkrongan Enggi dan Randi.

Sesaat saja, betapa terkejutnya Monara melihat yang sedang duduk nongkrong itu adalah Enggi, mukanya tampak Pucat pasih tak berdarah, tubuhnya bergetar, jiwanya bergocang, jantungnyapun berdegup kencang. Enggipun ikut terperangah, tersentak dengan kedatangan Monara yang masih terlihat begitu elegan, anggun dan cantik masih terpancar dari wajahnya, Kedua belah mata mereka saling perpandangan, beradu tak berkedip. Masa-masa kelam yang Enggi rasakan sejak kehilangan Monara, hilang seketika. Tatapan mereka sepertinya tak ada yang dapat disembunyikan lagi. Dalam hati dan perasaan berkecamuk, rasa takut, rasa gugup, bercampur aduk tak menentu.

Tubuh gemetar yang diiringi dengan perasaan gugup, suara tersendat-sendat, Enggi mencoba memberanikan diri menyapa untuk memecah tatapan lekat itu.

                        “Monara…..” Sapa Enggi dengan suara gugup terbata-bata.

                        “Ya….” Jawab Monara terkesan sedikit acuh.

                        “Apa kabar mu sekarang……???”
                        “Baik, dan kamu……????” Tanya balik Monara

                        “Aku masih seperti yang dulu” Sahut Enggi tersenyum simpul. Monara tertunduk diam mendengar ucapan Enggi barusan, Bening air matanya satu persatu menetes membasahi pipinya.

                        “Gak nyangka ya, kita bias bertemu disini….” Sahut Monara sambil mengusap air mata yang menetes perlahan dipipinya.

                        Kebesaran Tuhan yang telah mempertemukan kita kembali” Sambut Enggi mengulang ucapannya saat pertama kali bertemu Monara. Tak ayal, kata-kata Enggi memang selalu mencuri perhatian hati Monara. Terbersit dibenak Monara, bahwa ucapan itu benar-benar sebuah ucapan kenangan yang selalu Ia ingat saat pertama kali bertemu Enggi ditaman belakang sekolahnya dulu. Monara serasa tak kuasa membalas ucapan Enggi tersebut. Entah dengan ucapan apa lagi yang mesti ia jawab. Apakah harus ku jawab lagi dengan kata-kata yang pernah aku ucap? Oh…tak mungkin. Bisik Monara dalam hati. Enggi pun paham apa yang dipikirkan Monara, sehingga ia beralih topic kepembicaraan yang lain, karena Enggi tak mau membuat Monara bertambah tertekan.

                        “Oh ya….Monara, sering kali aku telfon dan kirimi pesan singkat pada mu, tetap tak bisa, segala akses pada mu tertutup, semua Lost Contact. Ada apakah semua ini, bukankah dulu kita sudah pernah berjanji, apapun yang terjadi diantara kita, kita tetap teguh dan setia mempertahankan janji itu. Tapi kenapa tiba-tiba saja kau berobah begitu saja. Ada apakah dengan kontak telfon mu Monara…..??” Tanya Enggi sedikit terbawah emosional.

                        “Ya, Enggi. Aku sadar selama ini kita telah Lost Contact, kontak ku sudah lama diganti, tapi aku tak pernah lupa dengan jaji-janji kita” Jawabnya singkat.

                        “Kenapa musti diganti Monara? Apakah tidak boleh lagi aku menghubungi mu?” Lanjut Tanya Enggi.

                        “Bukan begitu Enggi….” Jawabnya sedikit tersedu.

                        “Ataukah karena kau telah bersuami…..?” Desak Enggi lagi.

                        “Bukan Enggi”

                        “Lantas kenapa….Monara?”

                        “Ceritanya panjang Enggi” Jawab Monara terus mengelak.

                        “Apakah kau tau bahwa begitu tersiksanya diri ku hingga saat ini karena cinta kita….?”

                        “Aku mengerti, tanpa kau sadari, aku juga demikian, Bukan kau saja yang memiliki perasaan, aku juga punya Enggi” Bentak Monara  sedu sedan menahan kepedihan yang ia rasakan, atas pertengkaran itu.

                        “Oke, tapi bolehkah aku minta kontak mu yang sekarang dan bolehkah aku bercengkrama seperti dulu lagi bersama mu….?” Pinta Enggi sambil manggut-mangkut kepala.

                        “Boleh” Jawab Monara seraya mengambil Handphon dalam kantong celananya, lalu di Missed Call nya Handpon Enggi. Rupanya kontak Enggi masih tetap ia Save walau sudah cukup lama mereka berdua Lost Contact.

                        “Inikah kontak baru mu….?” Tanya Enggi.

                        “Ya, itu kontak baru ku, walau telah sekian lama kita Lost Contact, namu Nomor telfon mu masih tetap aku save dihati ku, ku harab kau paham dengan ini semua” Terang Monara sambil membalikan badannya mohon pamit dari hadapan Enggi berlalu pergi meninggalkan tempat tongkrongan itu.

            Semenjak pertemuan pertama Enggi dan Monara disore itu, hingga berlanjut pada Pesan singkat serta sekali-kali telfon-telfonan mengatur janji pertemuan secara kucing-kucingan. Sedari itu pula pintu hati mantan sepasang sejoli itu kembali terbuka, hati berbunga-bunga seperti dahulu kala, selayaknya anak remaja yang sedang dirundung kasmaran, merajut kembali hari-hari mereka berdua yang telah cukup lama terhenti. Vakum dari dunia cintanya, membuat rasa rindu kembali menggebu-gebu, sulit terbendungkan. Ikatan Cinta lama Enggi dan Monara kembali bersemi, bersatu dalam bungkusan rahasia hati. Pertemuan cinta terlarang sepasang kekasih yang bukan muhrim itu sering kali bersemi pada tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi dimasa-masa saat mereka masih duduk di bangku sekolah dahulu.

                        “Monara….Kenapa begitu berat cobaan yang diberikan Tuhan kepada cinta kita, dan kita mesti sadari, bahwa semua yang kita lakukan ini adalahan sebuah kesalan besar, dan sesungguhnya pertemuan ini adalah pertemuan sangat terlarang” Ujar Enggi lemah, seakan-akan tak berdaya.

                        “Yach….aku tau itu, aku sudah bersuami sedangkan kau telah beristri, ini adalah suatu pengkhianatan besar terhadap kedua pasangan kita, sangat di murkah oleh Allah. Tapi tak dapat dipungkiri, dan aku tak mau jadi orang yang munafik, bahwa aku sangat mencintai mu, aku tak mau lepas dari hangatnya pelukan mu, Jangan kau tingkalkan aku lagi Enggi….!!!” Pinta Monara memeluk erat tubuh Enggi.

                        “Yach….Terlebih sekali aku Monara, sejak kehilangan mu dulu, hampir saja aku jadi gila, bayang-bayang mu terus datang silih berganti dipelupuk mata ku, sulit ku ceritakan bagai mana perasaan ku saat kau tinggalkan aku….Percayalah Monara, aku juga tak mau lagi kehingan mu untuk yang kedua kalinya” Jawab Enggi sambil mengecup kening Monara dengan penuh kelembutan kasih sayang.

Pertemuan cinta terlarang itu sering kali dilakukan, hingga sepasang kekasih itu sulit untuk dipisahkan lagi. Cinta mereka berdua memang sudah lengket bak Cintanya Romy and Juliet, Kuat dan teguh bak Cintanya Leonardo De Caprio (Jack Dawson) dan Kate Elizabeth Winslet (Rose Dewitt Bukater) dalam tayangan serial Film TITANIC yang dirilis pada tahun 1997. Hingga sepasang kekasih itu memutuskan sepakat memilih jalan berpisah dengan pasangannya masing-masing agar bisa hidup bersama dan tak berpisah lagi untuk selama-lamanya. Walau disisi lain ada yang akan tersakiti dan terluka, namun dengan kekuatan cinta suci yang dapat melebihi dari kekuatan Tsunami, maka tak jadi persoalan bagi mereka berdua memutuskan harus saling bercerai.

                        “Kau janji akan berpisah bersama suami mu Rahul….!” Ujar Enggi sambil membelai rambut panjang Monara.

                        “Yach….aku janji, apakah kau juga berjanji cerai dengan Ranti….?” Tanya balik Monara berusaha meyakinkan Enggi.

                        “Ya….secepatnya, agar kita lekas hidup halal bersama dan tak lagi berpisah seperti yang telah berlalu”

            Pada akhirnya, Gugatan perceraian antara Enggi dan Ranti, Monara dan Rahul terjadi secepat kilat. Selepas dari itu, Persiapan pernikahan Enggi dan Monara diatur serapi mungkin, usai pernikahan, mereka berjanji akan pergi meninggalkan kampung halamannya. Memulai menjalani kehidupan baru mengadu nasib hidup bersama diperantauan. Segala perbekalan untuk dijadikan sebagai senjata ampuh untuk hidup mengadu nasib dirantau orang telah dipersiapkan sebelumnya. Kini dunia serasa milik berdua, tak ada lagi yang dapat menghalangi ikatan cinta suci mereka. MERDEKA itulah yang sering terucap dari mulut Enggi dan Monara sebagai Pemenang atas segala cinta sucinya.

 

                                                            +TAMAT+

Rabu, 19 Agustus 2020

SEMARAK HUT-RI KE 75 DI NAGARI PADUKUAN DI MERIAHKAN DENGAN BERBAGAI PERLOMBAAN

 DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA 

Dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI yang ke-75, Sebagai wujud syukur atas anugerah kemerdekaan yang susah payah diperjuangkan oleh para pejuang kemerdekaan, serta menyampaikan pesan moral kepada para generasi penerus untuk terus berusaha, berkarya dan berprestasi untuk mengisi kemerdekaan tersebut. Sekelompok anak muda di tiga jorong di Nagari Padukuan, Kecamatan Koto Salak, Dharmasraya-Sumatera Barat, adakan berbagai Jenis Perlombaan anak-anak dan remaja. Seperti, Mandi Tepung, Balap Karung, Putsal Sarung, Makan Kerupuk, Balap Kelereng diatas sendok digigit, Tarik Tambang dan Memasukan Paku ke Botol. 

Adapun dari tiga jorong tersebut adalah, Jorong Padukuan, Jorong Padang Rampak, dan Jorong Sei Rumbai. 


Eliyani dan Siti Romina selaku ketua Penyelenggara acara, saat ditemui awak Media di lokasi kegiatan, Selasa 18/8/20,

Mengatakan, bahwa Para peserta lomba hanya berasal dari kalangan anak-anak dan para remaja generasi penerus masyarakat setempat. 

"Suksesnya Acara 17 agustusan ini, tentunya tidak luput dari dukungan serta support dari berbagai pihak. Mungkin saja masih ada banyak kekurangan-kekurangan dari kami selaku panitia. 

Untuk itu, harapan kami kedepannya, agar kekompakan panitia dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan terus terjaga dengan baik, dan tentunya masyarakat padukuan makin solid serta terus berinovasi untuk kemajuan Nagari Padukuan, karena sebatang lidi takan mampu menyapu halaman" Ungkap Eliyani. 

Dalam waktu yang sama, hal senada juga di sampaikan oleh Siti Romina bahwa, "Sebagai wujud syukur atas anugerah kemerdekaan ini, walaupun ditengah bahayanya Covid-19. Alhamdulillah masih bisa memeberikan sedikit kebahagiakan kepada para peserta lomba dan juga kepada semua kalangan masyarakat Padukuan. Dan juga tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada seluruh panitia yang sudah berkontribusi serta dukungan dari lapisan masyarakat atas terselenggaranya acara ini. 

(Basamo mangko Manjadi). Tutupnya.(RN).

Selasa, 08 Oktober 2019

Cerpen Remaja : Cinta pertama Gita monara

Hari itu, hari pertama kali masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas.

Pagi itu Enggi tak ikut upacara bendera yang selalu rutin dilakukan setiap kali hari senin. Dia hanya berdiam diri dipojok kantin tempat biasa tongkrongannya, seperti biasa, menjelang masuk kelas, sebelum pelajaran dimulai, segelas Susu dan sepiring Gorengan selalu ia pesan kepenjaga kantin untuk menemaninya hingga upacara selesai.

Hiruk pikuk diruang kelas XI mulai terdengar dari kantin, kebetulan kelas XI tak begitu jauh dari kantin tempat tongkrongannya. Enggi beranjak menuju kelas pertama yang akan di diaminya setahun kedepan, dan Enggi pun memilih duduk dibangku yang terletak pada barisan belakang disudut kelas itu. Dari depan kelas terlihat Gita monara bersama teman-teman Genk nya. Klaudea, Ecilia Pera, Udo Deni, Onga Leki dan Uwo Rudi melangkah sambil menenteng buku Bahasa Indonesia menuju ketempat duduknya di sederet bangku depan.

Enggi kaget Melihat kedatangan rombongan Genk Gita monara, betapa tidak, dia tak menyangka akan bakal sekelas lagi dengan para Genk SMA itu. Gita monara selaku ketua Genk tersebut memang sudah jadi incarannya sejak di kelas X yang lalu.

Tak habis pikir, sepanjang hari semenjak semester dua kelas X,  Enggi hanya bisa melamun, keindahan bersama Gita monara hanya bisa dibayangkan saja, tanpa bisa berbuat sesuatu untuk mengungkapkan rasa cintanya itu.

Pelajaran pertama sudah berakhir, lonceng pertanda waktunya istirahat berdentang keras. Semua siswa berlarian keluar kelas. Begitu juga dengan Gita monara, namun kali ini dia berlain arah dengan anak-anak Genk nya. Gita monara menuju ke taman belakang SMA 1 itu, sementara para anggota genknya memilih kantin untuk beristirahat.

              "Gita...... "
‎Sebuah suara lembut namun sedikit gemetaran memanggilnya. Suara Enggi tersipu-sipu menyapanya. Rupanya Cowok Kalem itu sambil membolak balik buku Cerpen karya Raffy Nusantara sudah berada duluan ditaman itu.

           "Ya, Oh.. Enggi" Jawabnya singkat.
            "Kok sendirian Gita, biasanya bersama teman-teman geng mu?"
            "Iya nih, anak-anak lagi ke Kantin, palingan isi perut...."
           "Boleh aku temani?"
           "Boleh, tumben ya, kita ketemu disini"
            "Kebesaran Tuhan yang telah mempertemukan kita disini" Jawab Enggi sembari tersenyum.
            "Ah, itu kebetulan saja, itu buku apa Enggi?"
             "Oh, ini buku cerpen"
             "Cerpen apa, menarik enggak ceritanya?"
             "Cerpen Pamalayu, karya Raffy Nusantara, Cerita sejarah Kerajaan di Kabupaten Dharmasraya-Sumatera Barat" Jelas Enggi.
          "Boleh aku pinjam"
          "Boleh, Oh ya, gak nyangka ya, kita bakal selokal lagi"
           "Kebesaran Tuhan kembali lagi mempertemukan kita di kelas XI ini" Ujar Gita tersenyum sembari membalikan kata kata yang telah diucapkan Enggi.
           "Hmmm... Sesekali duduk sama Gita, Enggak ada yang marah kan?"
           "Enggak, emang siapa juga yang marah"
            "Kali aja cowok nya yang marah"
             "Waduuuhhh..... Aku jadi malu"
             "Emang kenapa, apakah ada yang salah dengan ucapan ku?"
             "Ahhh, tidak"
             "Terus kenapa mesti malu"
             "Aku jadi malu untuk mengatakannya"
             "Mengatakan apa Gita, bilang saja"
             "Yach... Aku kan masih sendiri"
            "Benar kah?"
            "Ya..."
            "Huuufff.... Sialan"
            "Kenapa, kok sialan"
            "Betapa tidak, selama ini aku kira kamu sudah punya pacar"
            "Enggak, Mana ada lah yang mau sama aku"
            "Masak sih, Secantik ini tidak ada yang mau sama kamu"
            "Buktinya hingga saat ini aku masih saja Jomblo"
            "Tapi hari-hari mu aku lihat, selain bersama Klaudea, kamu juga sering bersama Udo Deni"
            "Ya, kami hanya teman. Emang kenapa Enggi?"
           "Ahhh, Enggak. Kirain saja kamu pacaran sama Udo Deni"
         "Kami memang sering bersama, Belajar bareng, dan Diskusi bareng"
         "Boleh kah aku ikut bergabung bersama kalian?"
        "Emangnya kamu enggak ada kegiatan lain?"
        "Enggak"
        "Dengan senang hati, kami menyambut kedatangan mu untuk bergabung bersama kami" Jawab Gita tersenyum. Lonceng sekolah kembali berdentang keras, terdengar jelas ke taman dimana Enggi dan Gita monara bercengkerama.
            "Enggi, lonceng sudah berbunyi, Yuuk kita masuk" Ajak Gita monara bangkit dari duduknya. Dengan langkah gontai Gita dan Enggi kemudian meninggalkan taman itu untuk menuju kelasnya.
           "Gita....."
            "Ya, Enggi. Ada apa? "
            "Entar pulang sekolah, ada kegiatan gak?"
             "Enggak"
             "Bagaimana nanti kalo kita pulang bareng?"
             "Emmm....Boleh"
Menepati janji sesuai kesepakatan saat di taman, Enggi dan Gita berlalu pergi meninggalkan sekolahnya. Motor metic 120 cc yang di boncengi Gita monara melaju pelan menyisir di sepanjang jalan menuju kearah sebuah taman yang tak begitu jauh dari tempat mereka tinggal. Dengan leluasa motor berwarna merah tua itu memasuki taman yang tak pernah sepi dari berbagai pengunjung di kotanya itu.
         "Enggi....."
         "Ya"
         "Sudah cukup lama aku tidak mampir kesini" Ujarnya sambil menghirup udara segar di taman itu.
           "Benarkah Gita?, aku juga seperti itu, sudah cukup lama tidak kesini"
            "Entah malaikat apa yang mengarahkan kita untuk datang kesini"
            "Hmmm....Entah lah, yang pasti disini terasa sejuk dan damai, apa lagi bila bersama mu"
            "Eee.....sudah pinter ngombal ya sekarang"
            "Gita, lihatlah bunga-bunga itu, semua bermekaran, indah, segar dan harum baunya, Itu lah kecantikan yang ada pada diri mu"
            "Waduh...Puitis banget, jangan kebanyakan memujinya, nanti kepala ku besar dan jangan buat aku terbang dong Enggi" Sambut Gita tersipuh, kata-kata Enggi langsung menjatuhkan mental Gita Monara yang sudah sejak lama ia dambakan.
            "Bukannya aku memuji ataupun sok romantis, tapi aku hanya bicara apa adanya, apa yang aku lihat tentang diri mu, itulah yang aku katakan sebenarnya, menyampaikan atas kecantikan yang ada pada diri mu"
            "Enggi, kamu kenapa sih, tiba-tiba saja sekarang berubah puitis seperti ini, tak seperti Enggi di kelas X yang dulu"
             "Gita saja yang tidak menyadari tentang aku yang sudah sejak lama mengagumi mu"
             "Eh.... Pintar ngerayu de"
             "Aku bicara sebenarnya, sudah sejak kelas X aku memperhatikan mu, ingin menjadikan mu seorang terspesial di hati ku, tapi aku tak seberuntung dengan yang ada diangan-angan ku untuk mendapatkan cinta mu" Kali ini Enggi memang tak seperti biasanya, yang banyak diam dan terkadang hanya ngobrol-ngobrol biasa tentang mata pelajaran saja. Tapi kali ini entah roh apa yang merasuki Enggi, hingga ia seberani itu mengungkapkan segala isi hati serta unek-unek yang telah lama terpendam di benaknya.
            "Sungguh kah itu.....?" Gita monara menghempaskan nafasnya, terperangah dan terpesona dengan ucapan Enggi nan lemah lembut, betapa tidak, seumur hidup nya belum pernah seorang cowokpun berkata seromantis itu padanya.
              "Ya, aku bicara sesungguhnya, berharap mimpi indah ku terwujud untuk bisa bersama mu, hingga ajal datang menjemput"
            "Apa kah tidak ada yang cemburu...?"
            "Sungguh malang nasip ini, Sudah sejak lama aku mendamba masih saja dicurigai"
            "Maaf Enggi, bukan mencurigai mu, tapi aku takut......?"
           "Takut kenapa Gita....?"
           "Selama hidup ku, aku tak pernah tahu apa artinya cinta dan belum pernah aku merasakannya, tapi kali ini, entah bisikan apa yang telah merasuki mu, hingga kau ucapkan kalimat seindah itu pada ku"
             "Begitu juga halnya dengan ku Gita, tapi aku akan membahagiakan gadis istimewa seperti mu"
            "Kau bicara sesungguhan Enggi...?"
           "Ya, dari dasar hati ku yang paling dalam, aku tak tak mau kehilangan mu"
            "Jika benar sudah cukup lama kau mendambakan ku, kenapa kau selama ini tak bergeming, diam tak berani datang menemui ku ataupun kerumah ku, Kenapa....?"
            "Aku sadar, itu adalah kesalahan ku yang tak pernah datang pada mu, terkadang timbul rasa panik, hati berontak, jiwapun tersiksa, ingin menemui mu, tapi entah kenapa, tiba-tiba saja segala persendian ku terasa lunglai, lemas tak berdaya, sungguh aku tak bernyali, namun aku selalu menanti saat indah seperti ini bersama mu, tanpa ada yang lain"
            "Enggi...coba kau fikir dulu lebih jauh lagi, aku begini adanya, aku hanya gadis miskin yang tak punya apa-apa, bahkan serba kekurangan. Tak ada yang dapat diharapkan dari ku" Ujar Gita tertunduk.
           "Aku mencintai mu bukan karena kekayaan, bukan pula karena harta benda, dan ini bukanlah sebuah kegentingan yang memaksa, tapi ini masalah hati, soal perasaan Gita"
          "Kau janji takan menyakiti perasaan ku...?
         "Aku rasa tak perlu lagi kau tanyakan itu, masih kurang kah penjelasan ku bagi mu?"
           "Aku takut kehilangan setelah aku dapat kan, aku cemas tentang itu"
            "Gita.... Aku bagaikan Leonardo de Caprio mengejar pujaan hatinya diatas megahnya Titanic. Kau lah pujaan hati ku, cinta ku, setelah aku dapatkan takan semudah itu bagi ku untuk melepasnya"
            "Jangan kau sakiti hati ku Enggi"
         "Tentu saja tidak. Aku susah payah untuk memasuki hati mu dalam rentang waktu yang panjang, setelah dekat takan mungkin ku tinggalkan begitu saja" Ucap Enggi lembut berusaha meyakinkan Gita monara, binar mata saling bertemu, memancarkan cahaya cinta pertama, mereka seperti saling menemukan apa yang selama ini dicarinya. Serasa mimpi-mimpinya selama ini sudah terlunasi. Pelukan hangat Enggi pun menggetarkan hati Gita monara yang di kelilingi kembang bunga nan bermekaran di taman itu, seakan-akan dunia milik mereka tanpa menghiraukan insan lain di dunia ini. Sore kian menepis, senja berlabuh, malampun tiba, Bayang-bayang indah saat di taman terus menyoroti hati yang sedang dirundung kebahagiaan, terkadang senyam-senyum tersendiri, Sesekali Gita monara hanya menarik nafas panjang, begitu juga Enggi, tak pernah terlelap sepicingpun hingga pagi menjelang.

Kini hari-hari Enggi dan Gita monara semakin lengket bak prangko, seperti cinta Romi dan Juliet, sulit untuk di pisahkan. Namun, seiring waktu berlalu, apa yang di takuti Gita monara, akhirnya terjadi juga.
Sungguh dia merasa terpukul, karena ia harus merelakan hubungan asmara cinta pertamanya yang langgeng dan tak lekang oleh waktu itu kandas di tengah jalan. Enggi harus pergi meninggalkan Gita, mengikuti kedua orang tua nya yang mesti pindah tugas ke Jaya wijaya--PAPUA.

Pagi itu, Cuaca mendung, semendung hatinya yang sedang dirundung kegalauan, sulit ia ceritakan bagai mana perasaannya.
Kebisuan hati kini mulai menyelimutinya.
           "Sudah bulatkah keputusan mu Enggi....?" Kata Gita memecahkan kebisuan diantara mereka.
           "Yach..." Jawabnya singkat.
            "Apakah tidak ada jalan lain...?" Kata Gita lagi.
            "Ada..." Jawab Enggi singkat.
            "Lalu kenapa harus pergi..."
            "Aku tak berdaya menolak kemauan orang tua ku, semoga ini jalan terbaik bagi kita" Jawab Enggi sambil menatap Gita lekat-lekat. Gita pun tak kuasa membalas tatapannya.
               "Kapan kamu berangkat...?"
               "Besok" jawabnya
               "Secepat itu...?" Pekik Gita lagi.
               "Yach,,, Selamat tinggal Gita monara, semoga kamu dapat belajar lebih baik lagi, dan tetap solid bersama teman-teman genk mu disini, aku akan selalu merindukan mu, dan tak akan pernah melupakan mu. "I LOVE YOU" Gita Monara" Ucap Enggi rada sembab.
            "Selamat Jalan Enggi, semoga kau betah di Papua sana, dan aku berharap kau tidak bersikap acuh tak acuh terhadap ku setelah menetap disana, teruslah hubungi  aku dan berbagi cerita diantara" Gita monara tak kuasa menahan Air matanya, menetes membasahi pipi. Entah sampai kapan harus bertemu lagi. Sebenarnya jauh di lubuk hati nya, namun apa daya, demi aktifitas orang tua Enggi yang dimutasikan ke tanah Papua, hingga membuat cinta pertama Gita dan Enggi jauh terpisah. Gita merasakan sesuatu yang hilang.....Yach.....merasa kehilangan Jantung hati nya.
            "Aku juga akan merindukan mu Enggi, aku takan pernah bisa melupakan mu. Aku akan tetap setia menanti mu kembali, Salam hangat buat mu selalu...."
SELAMAT JALAN..... ENGGI.....

(oleh :raffy nusantara)

Minggu, 15 September 2019

Cerpen "PAMALAYU SEJARAH KERAJAAN DHARMASRAYA"

Dodi seorang cowok miskin, penuh akan kekurangan. Dalam pikirannya terus membayangkan tentang kesulitan hidupnya sehari--hari. Sulit ia ceritakan bagai mana perasaannya, terkadang terbersit dibenaknya takan ada yang mau bersahabat dengannya, itu lah sebabnya sering membuat dia minder dari pergaulan sehari-hari. Sesekali Dodi menghembuskan nafas panjang sambil meratapi nasip yang dialaminya.
Terkadang tersenyum seakan-akan tak menyesali tentang takdir yang telah ditentukan Tuhan kepadanya.
          Pagi yang cerah, mentari memancarkan sinarnya ke muka bumi. Kabut pagi perlahan mulai sirna. Sedangkan tanda-tanda mendung dilangat jingga tidak ada. Dedaunanpun sudah mulai tampak kering dibakar teriknya mata hari. Dengan langkah gontai, Dodi sutra menyusuri sepang jalan komplek elite, menuju kesebuah rumah megah nan penuh kemewahan yang terletak di kawasan Elite, yang tak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Sesampainya Dodi Sutra dirumah megah yang ia tuju, dipencetnya bel rumah Diani itu tiga kali, sebagai isyarat kedatangan tamu. Tak lama berselang, terlihat sesosok ibu setengah baya keluar menghampiri Dodi, tanpa basa basi, Dodipun menanyakan Diani selaku dari tuan rumah itu tersebut.
         ‎"Diani nya ada buk..?" Tanya Dodi Sutra.
         ‎"Ada di dalam, ini siapa ya...?" Tanya balik ibu paroh baya itu.
         ‎"Saya Dodi buk, temannya Diani" Terang Dodi pada ibu.
         ‎"Ooh...Silakan masuk, monggo diluar panas, Bentar Diani nya tak panggilin dulu" Ajak ibu itu ramah.
        Dodi Sutra masuk menuju ke ruang tamu di rumah mega itu, Dodi Sutra duduk di sofa empuk berwarna Violet tua, sejenak Dodi terpaku menatap keindahan seisi rumah mewah tersebut. Dinding rumah berukiran, dilangit-langit rumah dihiasi lampu-lampu kristal warna -warni.
             "Hay...Dodi, Apa kabar, maaf sedikit telat" Sapa Diani baru saja keluar dari Kamarnya.
             ‎"Baik, dan kamu... ?" Sambut Dodi balik nanya.
             ‎"Alhamdulillah juga baik" Ujarnya tersenyum.
      Senyum sumringah tampak terpancar dari ‎sepasang remaja yang baru saja bertemu, semilir angin berhembus membuat suasana semakin sejuk. Sesekali terdengar gemersik dedaunan yang tumbuh dipekarangan rumah mewah itu, meliuk kian kemari mengikuti kemana arah angin yang bertiup.
      ‎    "Hmmm,,, bentar ya Dod, ku ambil minuman nya" Ujar Diani
      ‎     "Udah dong, tidak perlu repot-repot de Dian"
      ‎       "Ah, biasa" Sambut Diani sembari tersenyum melangkahkan kakinya ke ruang belakang, sebentar saja, Diani kembali membawa segelas minuman.
      ‎        "Silakan di minum Dodi! "
      ‎        "Terimah kasih Diani" Sambut Dodi lembut.
      ‎        "Dodi, Besok malam punya acara gak?" Tanya Diani singkat.
      ‎        "Yeee...Gak ada tu, emangnya napa?" Kata Dodi balik tanya.
      ‎       "Aku punya teman, namanya Hanna, Dia instruktur komputer, biasanya setiap sabtu dia pulang kerumah, gimana nanti kite pergi jalan bareng!" Ajak Diani ngedipkan matanya ke Dodi.
Dodi Sutra tertunduk bingung, hatinya serasa berdegup kencang.
             "Mmm, Kok Diam sih Dod, kagak mau ya...?" Tanya Diani lagi mengerutkan dahi nya.
           "Mau dong Dian" Sambut Dodi dengan suara sedikit sendat. Betapa tidak, Selama hidupnya belum pernah sekalipun merasakan jalan bareng sama wanita, dengan teman lelakinya sajapun tidak pernah.
           ‎ "Hehehee,,, Gitu dong, Masak sih jawab itu saja mesti tunggu lama" Ledek Diani.
       Terik mentari membakar bumi, semua itu tak jadi hirauan bagi Dodi Sutra. Seperti gontai ditelusurinya jalan komplek elite itu. Angan-angannya serasa terbang kelangit biru, Jiwanya berontak tak tahu harus berbuat apa, yang ada dalam pikiran, kemana mesti dicarinya duit untuk bermalam mingguan nanti bersama Diani dan Hanna. Biasanya ia hanya mendapatkan Honor dari naskah cerpen atau puisi yang ia kirim keredaksi surat kabar, namun kali ini, naskah yang telah ia kirim belum juga ada kabar dari pihak redaksi untuk muat.
         Tak terasa waktu berlalu, malam minggupun tiba, Dua gadis remaja cantik bergoncengan di atas sepeda motor melaju membela senja nan mulai gelap. Tak asing, Diani dan Hanna menuju kerumah mungil Dodi Sutra yang selalu tenggelam dalam kesunyian malam. Di teras rumah kecil itu, Dodi terlihat murung tak karuan, dalam lamunan entah apa yang tengah di pikirkan, sontak saja Dodi sutra kaget melihat kedatangan Diani bersama Hanna sebelumnya telah ia ceritakan pada Dodi.
         ‎"Dodi.... Lagi sibuk kah...?" Tanya Diani.
         ‎"Enggak, Ayo masuk...!" Ajak Dodi kalem. Diani dan temannya Hanna masuk, sembari duduk diatas lantai yang hanya beralaskan tikar Pandan dengan ukuran tiga kali dua meter saja.
         ‎"Bentar ya...." Ujar Dodi membalik serta melangkahkan kakinya kearah ruang dapur, sekejap saja Dodi sutra keluar membawa napan berisi minuman.
         ‎"Maaf, hanya air putih" Sahutnya sambil mempersilahkan Diani dan Hanna minum.
         ‎"Mmm,,, Repot-repot amat sih Dod" Kata Diani tersenyum.
         ‎"Begitu adanya Diani, cuma air putih" Sambungnya lagi.
         ‎"Biasa lah Dod. Semua orang juga disarankan dokter untuk minum air putih, ya gak Hanna" Ucap Diani Canda sambil menoleh kearah Hanna.
         ‎"Ya, pastinya saran dokter begitu, perbanyak minum air putih" Sambut Hanna pula.
         ‎"Oohh,,,,Ya, Dod. Perkenalkan ini Hanna yang ku bilangin kemaren" Ujar Diani menoleh kearah Hanna dan Dodi bergantian.
         ‎"Selamat malam Buk, saya Dodi Sutra" Ujarnya dengan sedikit menundukan kepala sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Gayungpun bersambut, Hanna menyambut Salaman itu.
         ‎"Malam juga" Sambut Hanna senyum membalas salaman Dodi, jabatan tangan diantara mereka berdua sepertinya menyimbolkan suatu kekompakan.
         ‎"Maaf, beginilah keadaan ku Diani dan Hanna, hidup miskin serba kekurangan" Jelas Dodi sutra terkait nasip kehidupannya.
         ‎"Kami kesini bukan karena faktor Kekayaan, melainkan memenuhi janji kita yang kemaren, Ingatkan janji kita kemaren...?" Ujar Diani seraya mengerutkan keningnya.
         ‎"Hmmm,,,,, yah, aku ingat" Jawab Dodi tampak gelisah. Namun Diani cepat tanggap, mengerti apa yang tengah jadi hirauan Dodi Sutra.
         ‎"Tak perlu dipikirkan Dod, yang pasti kita pergi saja dulu" Oceh Diani tersenyum.
         ‎"Jalan kemana kita...?" Tukas Dodi kalem.
         ‎ "Ke Candi Pulau Sawah saja, melihat Festival Pamalayu, Ajang kebudayaan terlama dan terbesar sepanjang sejarah kabupaten Dharmasraya" Ajak Diani semangat sambil manggut-manggut kepala, pertanda ajakan serius Diani pada Dodi dan Hanna. Sebab sejarah Pamalayu itu sangat penting di pelajari, karena Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya.
            ‎"Setuju, Selain Talkshow Kemaritiman, dan berbagai perlombaan lainnya, komplek candi Pulau Sawah, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung itu di jadikan pula selaku pusat kegiatan Festival Pamalayu. Kita juga di suguhi dengan beragam Budaya, Kuliner, Souvenir dan keindahan alam yang bisa untuk kita nikmati di Pulau Sawah, kita juga dapat melihat situs-situs sejarah yang ada di tanah ranah cati nan tigo ini, mesti terus kita gali dan kita pelajari" Cetus Hanna pula. Dodi Sutra menoleh kearah Hanna seorang gadis yang baru saja di kenalnya itu. Hanna tersenyum juga ikut menganggukan kepala agar Dodi Sutra mau turut serta.
           "Aku tak punya Motor..." Sahut Dodi rada-rada sendat
           ‎"Kamu bisa mengendarainya bukan..?" Sela Diani cepat.
           ‎"Bisa, tapi tidak baik kalo motornya diboncengin tiga orang" Utas Dodi lagi.
           ‎"Ahh, kagak usah dipikirin, se penting kita nyampe diCandi Pulau Sawah. Nyook berangkat..!!" Cetus Diani tak sabar lagi cepat-cepat tiba di Candi Pulau Sawah. Bagai mana tidak, Kawasan Candi Pulau Sawah adalah Pusat Festival Pamalayu, karena kawasan itu diyakini betul menjadi lokasi penting dari ibu kota Kerajaan Malayu kuno. Sebab di lokasi itupun banyak ditemukan benda benda purbakala dan artefak kuno yang diduga merupakan peninggalan kerajaan di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat itu.
      Semilir Angin bertiup menerpa dedaunan pisang yang tumbuh subur dipekarangan rumah mungil Dodi Sutra. Tiga remaja berdarah jingga itu berpamit pergi pada ibu Dodi sutra. Ditengah perjalanan menuju ke Candi Pulau Sawah tersebut, mereka terus bercerita terkait tentang Ekspedisi Pamalayu.
Tak seberapa lama Dodi dan kedua temannya itu sampai di Pulau Sawah. Setelah Sepeda motor diparkirkan, mereka mutar-mutar mengelilingi Candi peninggalan kerajaan Swarnabhumi itu, melihat berbagai reruntuhan bangunan kuno yang kemudian bakal dibangun kembali seperti semula.
             Pesta kebudayaan besar-besaran yang pertama kali diselenggarakan Pemkab Dharmasraya, membuat hati berdecak kagum. Festival Pamalayu yang diadakan dialam terbuka menjadikan suasana sangat indah, di temani gemerlapnya bintang dilangit, seolah-olah awan takut untuk merusak pemandangan nan cukup bersahaja itu. Siapa pun akan takjub melihat keindahan  alam ciptaan Tuhan di Pulau sawah yang lengkap dengan sejarah kerajaan di kabupaten Dharmasraya. Ribuan masyarakat dari berbagai sudut Dharmasraya memadati area Festival Pamalayu. Seakan terasa lelah, Tiga remaja tersebut duduk di hamparan rerumputan hijau sambil melihat para pengunjung yang lalu lalang.
             ‎"Hmm,,,, asyik juga ya malam ini" Kata Diani memecahkan suasana diam mereka sambil menikmati Camilan yang ada di tangannya.
             ‎"Pastinya dong Dian, kan ada ibuk Instruktur diantara kita. Heheee..." Gurau Dodi dengan lirikan mata kearah Hanna.
             ‎"Hmmm,,, gitu de kalian" Sambut Hanna tersipuh.
             ‎"Hanna keliatan malu de" Ledek Diani lagi.
             ‎"Gak kok, biasa aja. Ooh,,, ya, kalian sudah temanan lama ya...?" Tanya Hanna pula.
             ‎"Lumayan lama" Jawab Diani singkat.
             ‎"Apakah kalian tak pernah bertengkar?" Tanya Hanna penasaran melihat keakraban diantara mereka.
             ‎"Sering de Hanna, bahkan terkadang berhari-hari diam-diaman, tak saling sapa, tapi seiring berjalannya waktu, kami baikan lagi" Jelas Dodi pada Hanna.
             ‎"Maaf, apakah kalian masing -masing sudah punya pacar...?" Tanya Hanna lebih lanjut tentang kepribadian pertemanan mereka berdua.
             ‎"Dulu sih ada, kenapa sih Hanna tanya tentang itu semua, atau jangan-jangan naksir Dodi ya...?" Canda Diani mencubit pinggul Hanna. Sementara Dodi sibuk memainkan rumput layu yang ada dijari tangannya, dibiarkan begitu saja kedua temannya itu menjadikan dirinya sebagai bahan gurauan. Lampu penerang Festival Pamalayu warna warni menjadikan suasana bertambah romantis, sehingga para pengunjung Festival Pamalayu memanfaatkan moment itu untuk bersantai sambil memahami tentang sejarah besar yang terdapat di kabupaten Dharmasraya.
             ‎"Heeyy... Kok ngelamun lagi sih..?" Kata Hanna berusaha mengagetkan Dodi, memecah sunyi sejenak mereka hanya membisu.
             ‎"Hanna....sih suka ngagetin, aku kan lagi asyik menatap rerumputan yang telah layu" Sentak Dodi bangkit dari lamunannya.
             ‎"Yahhh...ada apakah dengan tumput itu dan apa hubungannya sama kita-kita...." Ledek Hanna serius.
             ‎"Begitulah diri ku Hanna, manalah mungkin ada yang mau sama ku" Ungkap Dodi sedikit sendat, kepala tertunduk dan kembali mempermainkan rumput kering yang ada di jari-jari tangannya. Hannapun termenung setelah mendengar ucapan Dodi.
             ‎"Hmmm....kalo Diani ada gak gebetannya....?" Tanya Hanna mengalihkan pembicaraan, walaupun dalam topik yang sama, karena Hanna tak ingin membuat Dodi larut dalam kesedihan hanya karena dia.
            "Kalau Diani sih sudah  punya pacar" Gumam Dodi membalikan punggung dan menyandarkannya ke punggung Diani.
            ‎"Ohh... Ya... Cie.. Cie... Ciee... Sapa tu cowoknya" Ledek Hanna dengan kerlingan mata jenaka.
            ‎"Hmmm....Entah lah Hanna, aku tidak tau pasti, katanya sih, cowoknya itu ada di Malaysia sana" Goda Dodi terbahak.
            ‎"E.... eeh... Pada ngeledek ye" Bentak Diani dengan kedua tangannya sibuk mencubiti kedua sahabatnya itu.
 Malam kian larut, kesunyian mulai terasa dari hiruk ‎pikuknya suara para pengunjung. Tiada bicara, hanya sekedar saling manggut kepala sebagai isyarat memutuskan untuk pulang, Sepeda motor yang di kendarai bonceng tiga itu, perlahan mulai meninggalkan kawasan Pulau Sawah dimana sebagai pusat kegiatan Pesta Budaya atau Festival Pamalayu. Tak seberapa lama kemudian, mereka telah sampai di kediaman Dodi Sutra. Tanpa adanya basa-basi, seturunnya Dodi dari sepeda motor, Dianipun maju keposisi depan menggantikan Dodi mengendarai motornya.
 ‎           "Hati-hati Diani...!" Ujar Dodi melambaikan tangannya, gayung bersambut lambaian itupun di balas oleh dua gadis remaja yang berlalu pergi meninggalkannya. Lantas Dodi menuju kekamar peristirahannya. Dibaringkan tubuh diatas ranjangnya, dengan sejuta bayangan saat bersama Diani dan Hanna di Festival Pamalayu--Pulau sawah. Perlahan matanya mulai terpejam, hingga tertidur pulas.
 ‎       Mentari pagi memancarkan cahayanya diufuk timur. Kicauan burung-burung bernyanyi menyambut pagi. Dodi sutra bergegas mempersiapkan naskah cerpen yang belum selesai digarapnya.
Baru saja beberapa baris kalimat yang tergarap, Dodi Sutra mendengar ada ketukan pintu dari luar. Sambil menghela nafas, Dodi bangkit beranjak membukakan pintu. Sontak kaget, dengan kedatangan Diani dan Hanna. Dengan senyum ramah Dodi mengajak kedua temannya masuk kerumah.
             "Nulis cerpen lagi ya Dod...? " Tanya Diani.
             ‎"Hmmm.... Ya. Ngelanjutin naskah yang belum terselesaikan kemarin" Jawabnya kalem.
             ‎"Eheem.... Jadi Dodi ini penulis cerpen toh...?" Tanya Hanna.
             ‎"Ah.. gak juga" Sangkal Dodi merendah.
             ‎"Banyak dong naskah cerpennya...? " Lanjut Hanna lagi.
             ‎"Gak juga, tapi ada juga naskah cerpen karya Raffy.N" Jelas Dodi semangat.
             ‎"Judul apa saja cerpennya?Menarik gak ceritanya...?"
             ‎"Menarik atau atau tidaknya sebuah cerita, tergantung pada pembaca itu sendiri memahaminya" Sahut Dodi.
             ‎"Pinjam dong, nanti lusa aku kembaliin" Pinta Hanna.
             ‎"Boleh, ntar ya, tak ambilin dulu" Kata Dodi melangkah keruang dalam tempat penyimpanan naskahnya, sekejap saja, Dodi mengulurkan cerpen CINTA ANTARA PADANG--JAKARTA karya Raffy. N. Dengan tersenyum simpul cerpen itu diterima Hanna, sedangkan Diani setia berdiri dekat jendela, asyik mengamati rimbunnya pepohonan pisang yang tumbuh subur dipekarangan rumah Dodi.
            "Eh...mumpung libur, jalan yuukk" Ajak Diani pada kedua sahabatnya.
            ‎"Boleh, mau banget" Sambut Hanna semangat.
            ‎"Jalan kemana Diani...?" Tanya Dodi dengan kerutan keningnya.
            ‎"Hmm,,, kita ke Pulau sawah, hari ini pengunjungnya pasti membludak..!!" Kata Diani lagi, Betapa tidak, festival Pamalayu yang di selenggarakan dengan berbagai kegiatan untuk merayakan kabupaten Dharmasraya yang di pusatkan di Candi Pulau sawah.
Kawasan Candi Pulau Sawah itupun bakal menjadi pusat pembelajaran sejarah, pusat penelitian arkeologi dan juga bakal menjadi objek wisata dengan bebagai kisah yang menyungkupnya. Sebab, Kawasan Candi Pulau Sawah diyakini menjadi lokasi penting dari ibukota Kerajaan Malayu kuno. Di lokasi itu pula banyak ditemukan benda benda purbakala dan artefak kuno yang diduga merupakan peninggalan kerajaan.
Salah satu dari agenda itu Arung Pamalayu  sambil memperingati hari kemaritiman nasional, Pemerintah kabupaten Dharmasraya bersama aktifis kemasyarakatan juga mengetengahkan sungai Batanghari salah satu sungai terpanjang di pulau sumatera untuk diperbincangkan dalam skala nasional. Sejumlah pembesar negara bakal hadir dalam forum yang dinamai Talkshow Kemaritiman itu.
         Sejenak Dodi termenung, mungkin memikirkan keadaan dirinya yang serba kekurangan hingga Dodi agak enggan untuk bepergian. Dodi memang hidup yang sangat bersahaja jika dibandingkan dengan cowok lain yang ada di kampungnya. Dia bukanlah termasuk orang berada, malah kalau boleh bilang selalu kekurangan. Kesehariannya Hanya mengandalkan honor dari naskah yang dikirimkannya ke redaksi surat-surat kabar, sesekali kerja serabutan, yang penting halal.
         ‎"Heeyyy.... Malah ngelamun" Sentak Hanna menepuk pundak Dodi.
         ‎"Nggak kok" Sambut Dodi senyum kecil.
         ‎"Yuuk... Berangkat...!!!" Ajak Diani bangkit dari duduknya.
Tiga sekawan itupun berangkat, menyusuri sepanjang jalan nagari Siguntur. Dari Tapian Siguntur mereka memanfaatkan ponton untuk menyebarang ke dermaga Pulau Sawah.
          "Sungguh Festival Pamalayu ini mengingatkan dan menyadarkan bahwa begitu pentingnya sejarah buat kita" Gumam Dodi seakan berjalan semakin pelan dan terhenti saat sampai di tempat yang strategis untuk bersantai sambil bercengkeramah.
          ‎"Dengan adanya sejarah, maka kita tau bahwa nama kabupaten Dharmasraya diambil dari manuskrip yang terdapat pada prasasti Padang Roco, dimana pada prasasti itu disebutkan Dharmasraya  sebagai ibu kota dari kerajaan Melayu waktu itu, Selain itu nama Dharmasraya juga disebutkan dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama sebagai salah satu daerah vasal" Terang Hanna juga.
          ‎"Dari berbagai buku sejarah yang pernah juga aku baca, Pada tahun 1935, Himpunan Ilmuan dan Seniman Belanda termasuk di dalamnya Arkeolog Bataviaasch Genootschap van kunsten en weten schappen Mengeksavasi ARCA BHAIRAWA, ARCA AMOGHAPASA.
Patung Arca Bhairawa memiliki tinggi 4,41 Meter dan Berat 4 Ton, dipindahkan ke Museum Nasional Jakarta" Terang Diani.
               "Betul banget, ada satu lagi yang terkait dengan hal itu, yaitu patung TORSO. Patung Torso itu rupanya ditemukan juga di Siguntur sekitar tahun 1920 yang silam, kabarnya saat ini patung Torso itu menjadi koleksi di Museum Universitas Leiden Belanda" Ujar Dodi Sutra menambah ucapan dari Diani.
           "Sungguh luar biasa, berarti Kabupaten Dharmasra satu-satunya kabupaten yang memiliki sejarah besar di Indonesia" Sambung Hanna menghela Nafas.
           Tak lama kemudian Dodi dan kedua sahabatnya itu mulai beranjak dari tempat semulanya bercengkeramah, menuju ke sebuah stan atau gerai makanan khas dari nagari Siguntur. Disana mereka di suguhi dengan makanan Tradisional KONJI yang disajikan dalam SAYAK (Batok kelapa). Sebuah makanan sejenis Cendol yang terbuat dari tepung beras, gula dan santan kelapa, dimasak dalam wajan atau Panci, selain itu, juga tersedia panganan ringan lainnya seperti, kacang padi, kue talam ubi, panyiaram, Lopi, sarabi serta kue kue dari ubi dan tersedia juga berbagai jenis minuman khas Dharmasraya.
           ‎"Wooowww.....Pemandangan alam Pulau sawah nan indah mempesona, sungguh menakjubkan" Pekik Diani sekeras suaranya.
           ‎"Cihuuuuiiiiii......Dharmasraya Kereeeennnn" Serta Hanna sambil membentangkan kedua tangannya.
           ‎"Bangga jadi anak Dharmasraya..." Turut Dodi dengan suara yang lebih keras dan cukup lantang kedengarannya.
           ‎Betapa tidak, Keindahan alam Kabupaten Dharmasraya sungguh mempesona, rerumputan yang hijau serta Pepohonannya yang rindang, membuat suasana terasa sejuk dan jauh dari kebisingan. Burung--burung kecil berkicau mesrah berterbangan diatas permukaan sungai Batang Hari, rasanya kicauan itu bisa mengisi kekosongan hati. Bukit-bukit yang menjorok ke sungai menjadikan keindahan tersendiri. Itu lah alam kabupaten Dharmasraya yang berjulukan Ranah Cati Nan Tigo. Menjadikan mata tak puas memandang.
           ‎Tak terasa waktu berlalu, keasyikan tiga darah jingga itu seakan-akan lupa akan waktu, bahwa mata hari mulai tenggelam di ufuk barat. Selamat tinggal ufuk timur, Dodi dan kedua temannya berlalu pergi meninggalkan Pulau sawah. Selamat berjumpa lagi esok pagi.
"SALAM.

Cinta Asungan

Cerpen Remaja : CINTA ASUNGAN

               Siang itu cuaca cukup terik menyinari bumi, Dalam ruangan kelas yang hening, hanya suara ibu guru yang terdengar menerangkan ...